Mempertajam Kritik Sastra untuk Edukasi Publik
Dewan juri dan para pemenang penulisan kritik sastra berpose bersama usai pembacaan pemenang di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu .
Foto: foto-foto: koran jakarta/imantokoPerkembangan sastra di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah kritik sastra. Sebagian besar sejarah sastra memegang peranan sebagai pendorong perkembangan sastra dan media edukasi publik.
Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang terdiri dari Yusi Abianto Pareanom, Yahya Andi Saputra, Linda Christanty dan Aini Sani Hutasoit, menyelanggarakan Sayembara Kritik Sastra DKJ 2017. Sayembara ini dibuka mulai dari Maret dan ditutup Juli 2017. Dan panitia, dalam hal ini, berhasil mengumpulkan 93 naskah, dari berbagai provinsi di Indonesia.
Dalam sejarah sastra Indonesia, kritik berperan besar untuk menumbuhkan percakapan- percakapan penting tentang perkembangan sastra Indonesia. Diharapkan, dengan diselenggarakan Sayembara Kritik Sastra DKJ 2017, lahirlah kritikus- kritikus andal yang pada gilirannya akan ikut memantik percakapan penting dalam kesusasteraan Indonesia.
Sedangkan misi dari sayembara ini, dimaksudkan untuk memperkuat fungsi kritik demi mendorong lahirnya karya-karya sastra bermutu Tanah Air.
Kendati demikian, kualitas terhadap kemajuan kesusasteraan di Indonesia tidak lagi dalam kondisi "fit". Pada sayembara Kritik Sastra tahun ini, para dewan juri, AS Laksana, Ari Jogaiswara Adipurwawidjana, dan Martin Suryajaya, dengan mengejutkan memutuskan tidak memutuskan juara pertama ke para peserta.
Hanya ada juara 2, 3 dan harapan saja pada Sayembara Kritik Sastra DKJ 2017. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yang dilaksanakan pada 2007, 2009, 2013 yang menghasilkan juara pertama.
Dalam kesepakatan dewan juri, pada Sayembara Kritik Sastra DKJ 2017, ada empat kriteria yang dijadikan patokan terhadap naskah sayembara. Empat kriteria itu terdiri atas ketajaman dalam menelaah karya, kritik yang inspiratif dan orisinal, argumentasi yang meyakinkan, dan keberanian menafsir dan kesegaran perspektif.
"Berdasarkan empat kriteria tersebut, kami selaku dewan juri memandang bahwa naskah-naskah yang masuk dalam sayembara kali ini, sayang sekali kurang memadai," kata Ari Jogaiswara, di Galeri cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta baru-baru ini.
Itu sebabnya, berdasarkan kualitas naskah tersebut, panitia menganggap tidak ada yang pantas untuk meraih peringkat terbaik.
"Komitmen kami lebih pada kualitas kritik sastranya itu sendiri, kita tidak bisa menurunkan standar. Di satu sisi sepertinya terdengar mengada-ada karena tidak ada juara pertama, di sisi lain sesungguhnya Indonesia membutuhkan kritik sastra yang bagus.
Ini semacam menjadi statement kita bahwa kaya yang bagus itu harus dikejar dan harus sungguh-sungguh, apalagi ujungujungnya untuk kepentingan orang banyak juga," jelasnya. ima/R-1
Berbagai Kekurangan
Juara ke 2, yang merupakan peringkat paling tinggi di Sayembara Kritik Sastra 2017, diperoleh Harry Isra Muhammad melalui karyanya yang berjudul Memandang Seperti Penjajah: Membedah Pascakolonialitas Puya ke Puya karya Faisal Oddang.
Secara teknis, pihak juri merasa memiliki kesan pertama yang bagus ketika membaca karya Harry. "Tapi, pada saat mengikuti kelas kritik sastra DKJ 2016 dan belajar tentang kritik sastra pascakolonial juga dari diskusi bersama teman-teman yang pernah membaca novel itu yang berasal dari Toraja, mulailah saya menganalisis novel ini," terang Ari.
Ia menjabarkan dalam naskah tersebut, Toraja digambarkan sedikit banyak sama dengan cara kolonial memandang negara jajahannya. Tetapi naskah milik Harry dipilih karena penggunaan pendekatan kritik pascakolonialitas tanpa jatuh ke dalam kecenderungan menghambur-hamburkan teori, ataupun melakukan name-dropping.
Tetapi, Dewan Juri menyayangkan dalam penulisan naskahnya ada kelemahan, terletak pada pemanfaatan rujukan kajian naratologis yang kurang, padahal argumennya bergantung pada analisis ketat dan aspek-aspek naratologi.
Di samping itu yang menarik dari karya ini, penulis dinyatakan berhasil menjalankan kritik pascakolonialitas terhadap novel Puya ke Puya. Novel karya Faisal Oddang tersebut, menurut Dewan Juri, dipandang sebagai ekspresi semangat untuk mengangkat lokalitas dan dunia kehidupan tradisional.
Jika harus dibandingkan, karya Sayembara Kritik Sastra 2013 dan 2017, Ari melihat memang terasa ketimpangannya. Karena dari sisi teknis, dalam kompetisi kali ini para penulis secara teknis tidak ada yang melakukan sebaik peserta pada 2013. "Tahun ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda, ada yang pemahamannya tinggi tapi argumennya kurang, dukungan teoritis dan rujukannya kurang dan lain sebagainya," tutur Ari.
Seperti misalnya, kritik acap kali berhenti di paparan deskriptif, tidak sampai mengutarakan argumentatif. Penggunaan teori yang tidak sesuai dengan karyanya, dan pembahasan yang terlalu melebar sehingga keluar dari topik utama," sambungnya kembali. ima/R-1
Tidak Terlepas dengan Kata
Untuk meningkatkan kualitas sastra di Indonesia, Ari yang juga berprofesi sebagai dosen, menekankan agar masyarakat, khususnya anak muda lebih mencintai karyakarya sastra.
"Sejujurnya saya di kelas hanya memberikan semagat ke teman-teman untuk mencintai karya-karya sastra. Agar mereka tumbuh rasa ingin membaca novel A, membaca puisi karya B, karena keren banget isinya. Saya akui itu sangat melelahkan, karena budaya membaca di kalangan anak muda sudah jauh menurun belakangan ini," ceritanya.
Ari melanjutkan sastra tidak terlepas dengan kata. "Dan kata dampaknya besar sekali terhadap sastra. Sekarang kan orang lebih suka yang ke visual, kalau ada poster saja mereka lebih mudah terpesona dengan gambarnya terlebih dahulu, bukan pada huruf-hurufnya," ungkap Ari.
Kemudian dalam sebuah karya, yang musti menjadi senjata utama ialah isinya bukan pada tampilannya. Karena menurut pandangannya kemasan yang cantik pada sebuah karya sastra hanyalah pemanis. "Jangan sampai karena tampilannya yang cantik, hanya menjadi pemanis rak buku, atau selfie kemudian di upload di sosial media untuk menandakan punya karya tersebut, tetapi tidak tahu apa isinya," pungkas Ari. ima/R-1
Redaktur:
Penulis:
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
Berita Terkini
- Status Pailit Sritex, Berikut Penjelasan BNI
- Arab Saudi: Habis Minyak Bumi, Terbitlah Lithium
- Misi Terbaru Tom Cruise: Sabotase Pasukan Jerman!
- AirNav Pastikan Kelancaran Navigasi Penerbangan Natal dan Tahun Baru 2024/2025
- Sambut Natal 2024, Bank Mandiri Bagikan 2.000 Paket Alat Sekolah hingga Kebutuhan Pokok di Seluruh Indonesia