Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jumat, 14 Feb 2025, 13:33 WIB

Makna Cokelat Valentine, Hubungannya dengan Krisis Kakao dan Krisis Iklim?

Petani Kakao di Papua.

Foto: antara foto

JAKARTA - Harga cokelat yang melonjak tinggi saat Hari Valentine bukan sekadar berita ekonomi biasa. Kondisi ini merupakan gambaran nyata bagaimana krisis iklim yang mulai menyentuh hal-hal kecil, meski sebelumnya dianggap remeh.

Dari sebuah batang cokelat yang biasanya diberikan dengan penuh cinta, semua kini dipaksa untuk melihat lebih dalam ke akar permasalahan tentang bagaimana bumi yang semakin panas dan cuaca yang semakin kacau telah mengguncang rantai pasok kakao dunia.

Kakao adalah tanaman yang manja, hanya bisa tumbuh dalam kondisi yang pas dengan cukup lembap, cukup panas, tetapi tidak berlebihan.

Begitu suhu naik sedikit saja melewati ambang batas, begitu hujan datang tak menentu, produksi kakao langsung anjlok.

Laporan terbaru dari organisasi amal internasional Christian Aid “Cocoa Crisis: How Chocolate is Feeling the Bite of Climate Change”, mengungkapkan bahwa perubahan iklim telah menghantam produksi kakao di Ghana dan Pantai Gading (Côte d’Ivoire), dua negara penghasil kakao terbesar di dunia.

Ghana dan Côte d’Ivoire, dua negara yang menyumbang lebih dari 60 persen produksi kakao dunia, sekarang sedang mengalami skenario buruk ini.

Kemudian, laporan Climate Central “Climate change is heating up West Africa's cocoa belt”, mencatat, pada 2024, perubahan iklim memperpanjang periode hari dengan suhu tinggi di atas 32 derajat Celcius selama enam pekan di 71 persen wilayah penghasil kakao di Côte d'Ivoire, Ghana, Kamerun, dan Nigeria, suhu yang terlalu panas untuk penanaman kakao. Pola curah yang tidak menentu di Afrika Barat selama musim panen juga berdampak buruk pada kakao.

Suhu di atas 32 derajat Celcius yang bertahan selama berpekan-pekan telah merusak pertumbuhan kakao. Curah hujan yang tidak menentu menambah masalah, membuat hasil panen menurun drastis.

Ini bukan sekadar fluktuasi musiman, tetapi gejala dari perubahan iklim yang sudah semakin sulit dikendalikan.

Hasilnya, harga kakao melesat hingga 400 persen dalam beberapa tahun terakhir, mencapai puncaknya di 12.605 dolar AS per ton pada Desember 2024.

Para petani yang menggantungkan hidup dari kakao kini berada dalam posisi sulit. Ironisnya, mereka yang paling terkena dampaknya justru adalah mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap krisis ini.

Negara-negara maju, dengan jejak karbon yang jauh lebih besar, tetap menikmati cokelat mereka tentu saja, dengan harga yang lebih mahal sementara petani kecil di Afrika dan Indonesia harus berjuang menghadapi ancaman nyata terhadap penghidupan mereka.

Petani Kakao

Sementara Afrika Barat mendominasi produksi kakao global, Indonesia menempati posisi ketiga dengan 11,4 persen dari total produksi dunia pada 2022 atau sekitar 667 ribu ton.

Maka Indonesia tak bisa berleha-leha. Petani kakao di Sulawesi Tengah, yang merupakan penghasil kakao terbesar di Indonesia, tentu akan merasakan dampaknya.

Jika krisis ini dibiarkan, negeri ini bukan hanya akan melihat harga cokelat semakin mahal, tetapi juga kehilangan potensi ekspor yang bernilai miliaran rupiah. Lebih buruk lagi, nasib ratusan ribu petani kakao di Indonesia juga akan ikut terancam.

Policy Strategist CERAH,WicaksonoGitawan mengatakan bahwa dampak krisis iklim jika didiamkan akan berdampak negatif pada industri cokelat di Indonesia di masa depan.

Dia menambahkan, negara-negara global, termasuk Indonesia, harus mengambil langkah serius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, demi kelangsungan industri ini.

Apalagi selain berada dalam top 3 produsen cokelat global, Indonesia juga memiliki pasar cokelat nasional yang besar. Maka Wicaksono mendorong adanya aksi nyata Indonesia untuk menurunkan emisi, demi menjaga mata pencaharian petani dan produsen cokelat nasional serta berjalannya roda perekonomian.

Hal senada disampaikan Andy Soden, Direktur Operasi Kernow Chocolate yang membenarkan bahwa produksi kakao global empat tahun terakhir ini telah terdampak perubahan iklim ekstrem, seperti El Nino dan La Nina. Perubahan cuaca yang tak menentu selama siklus penanaman dan panen, telah secara drastis mengurangi produksi kakao.

Pasokan yang rendah dan permintaan global yang tinggi telah mendorong harga pasar kakao dari yang relatif stabil menjadi lebih dari 10.000 poundsterlingper ton. “Bagi produsen kecil seperti kami, ini bisa membuat kami gulung tikar dalam jangka panjang karena harga grosir untuk tahun 2025 hampir melampaui harga eceran kami pada 2023,” kata Soden.

Kondisi ini jelas perlu solusi karena ini bukan sekadar bicara tentang harga dan rantai pasok. Ini tentang bagaimana Indonesia sebagai bangsa merespons perubahan iklim dengan tindakan nyata.

Beberapa yang dapat dilakukan di antaranya, Indonesia harus lebih agresif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Ini bukan hanya demi citra di forum-forum global, tetapi karena dampaknya langsung ke ekonomi nasional.

Jika produksi kakao terus terganggu, bangsa ini akan kehilangan lebih dari sekadar angka di neraca perdagangan. Ini berbicara tentang pekerjaan, kesejahteraan, dan ketahanan pangan nasional.

Kemudian, ia menegaskan kembali, adaptasi adalah kunci. Petani kakao di Indonesia perlu diberikan akses ke teknologi pertanian yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim.

Ini bisa berupa pengelolaan air yang lebih baik, penggunaan bibit yang lebih tahan terhadap suhu ekstrem, hingga sistem agroforestri yang lebih ramah lingkungan.

Selain itu, pembiayaan iklim harus lebih diarahkan pada sektor pertanian yang terdampak langsung. Petani kecil tidak bisa dibiarkan menghadapi badai ini sendirian, sementara industri besar dan negara-negara maju terus melaju tanpa konsekuensi yang setimpal.

Selanjutnya, diversifikasi komoditas. Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada kakao dalam skala besar tanpa memiliki strategi alternatif.

Jika perubahan iklim terus berlanjut tanpa intervensi yang cukup, produksi kakao akan semakin sulit dipertahankan dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, semua perlu mulai berpikir tentang komoditas lain yang bisa menjadi penyangga ekonomi bagi para petani yang terdampak.

Lebih luas lagi, krisis kakao ini adalah cerminan dari pola ekonomi dunia yang semakin tidak berkelanjutan.

Semua selama ini menikmati produk murah dari negara berkembang tanpa mempertimbangkan biaya lingkungan yang harus dibayar.

Saat ini, harga kakao yang melonjak mungkin terasa seperti masalah sederhana bagi konsumen di negara maju yang masih mampu membeli cokelat mahal. Namun, bagi petani di Afrika dan Indonesia, ini adalah soal hidup dan mati.

Valentine tahun ini seharusnya menjadi pengingat bahwa setiap batang cokelat yang dinikmati membawa cerita panjang di baliknya.

Ini bukan hanya tentang manisnya rasa cokelat di lidah, tetapi juga tentang bagaimana semua sebagai masyarakat global menghadapi tantangan terbesar abad ini yakni menyelamatkan bumi, sekaligus menjaga agar setiap orang tetap bisa mendapatkan bagian yang adil dari hasilnya.

Jika semua tidak bertindak sekarang, bukan hanya cokelat yang hilang di hari valentine, tetapi juga masa depan pertanian dan ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Redaktur: Sriyono

Penulis: Sriyono

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.