Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 19 Mar 2024, 06:10 WIB

Kusta, Penyakit Kuno yang Masih Mengancam

Foto: afp/ Issouf SANOGO

Para ahli memperingatkan penyakit kusta bukan hanya ada di sejarah kuno seperti digambarkan kitab suci dan para sejarawan. Adanya lonjakan kasus yang terjadi di AS membuktikan penyakit ini bukan hanya diderita penduduk miskin di negara berkembang.

Kusta atau lepra yang juga dikenal sebagai penyakit Hansen (HD), adalah infeksi jangka panjang yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae atau Mycobacterium lepromatosis. Infeksi bakteri ini dapat menyebabkan kerusakan pada saraf, saluran pernapasan, kulit, dan mata.

Kerusakan saraf tersebut dapat mengakibatkan kurangnya kemampuan untuk merasakan nyeri. Selanjutnya dapat menyebabkan hilangnya bagian ekstremitas seseorang akibat cedera berulang atau infeksi melalui luka yang tidak disadari.

Orang yang terinfeksi penyakit menular ini dapat mengalami kelemahan otot dan penglihatan yang buruk. Gejala kusta mungkin mulai muncul dalam waktu satu tahun, namun bagi sebagian orang, gejalanya mungkin memerlukan waktu 20 tahun atau lebih untuk muncul.

Kusta boleh dikatakan merupakan penyakit kuno. Penyakit ini pernah mempengaruhi umat manusia selama ribuan tahun dan disebutkan dalam beberapa kitab suci. Istilah lepra mengambil nama dari kata Yunani yaitu lépr? berasal dari kata lepís yang artinya bersisik.

Sedangkan istilah kusta sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu kustha yang memiliki arti sekumpulan gejala yang terdapat pada kulit. Sementara itu untuk penyakit Hansen diambil dari nama dokter Norwegia, Gerhard Armauer Hansen.

Kusta secara historis dikaitkan dengan stigma sosial karena penyakit dosa dan lainnya. Hal ini terus menjadi hambatan dalam pelaporan mandiri dan pengobatan penyakit sejak dini. Penularan penyakit tropis ini umumnya terjadi pada kelompok masyarakat yang paling rentan, termasuk migran dan masyarakat miskin.

Sekarang penyakit ini masih terdapat di 120 negara, namun penyakit ini juga diderita oleh warga negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Baru-baru ini Negara Bagian Florida mengalami peningkatan kejadian kusta yang merupakan penyebab banyak kasus baru yang didiagnosis di AS.

Meski Organisasi Kesehatan Dunia meluncurkan rencana pada 2021 untuk mencapai nol kusta, namun lonjakan kasus baru di Florida tengah menyoroti kebutuhan mendesak bagi penyedia layanan kesehatan untuk segera melaporkannya. Pelacakan kontak sangat penting untuk mengidentifikasi sumber dan mengurangi penularan.

Faktor risiko tradisional termasuk paparan zoonosis dan baru-baru ini tinggal di negara endemis kusta. Brasil, India, dan Indonesia masing-masing mencatat lebih dari 10.000 kasus baru sejak 2019, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia. Lebih dari selusin negara telah melaporkan antara 1.000 hingga 10.000 kasus baru dalam periode waktu yang sama.

"Penyakit kusta telah distigmatisasi pada zaman alkitab. Bukti menunjukkan bahwa penyakit kusta telah menjangkiti peradaban setidaknya sejak milenium kedua SM. Sejak saat itu hingga pertengahan abad ke-20, pengobatan yang tersedia terbatas, sehingga bakteri dapat menyusup ke dalam tubuh dan menyebabkan kelainan fisik yang menonjol seperti cacat tangan dan kaki," kata Robert A Schwartz, profesor dan kepala dermatologi di Rutgers New Jersey Medical School, Rutgers University, dalam tulisannya di laman The Conversation.

Kasus kusta stadium lanjut menyebabkan ciri wajah manusia menyerupai singa. Banyak kelainan kulit yang merugikan dan menyusahkan seperti kanker kulit dan infeksi jamur dalam juga disalahartikan sebagai kusta oleh masyarakat umum.

"Ketakutan akan penularan telah menyebabkan stigmatisasi dan pengucilan sosial yang luar biasa," ungkap Schwartz.

Penelitian menunjukkan bahwa kontak langsung dalam waktu lama melalui percikan pernapasan adalah cara utama penularan, dibandingkan melalui kontak normal sehari-hari seperti berpelukan, berjabat tangan, atau duduk di dekat penderita kusta. Penderita kusta umumnya tidak menularkan penyakitnya begitu mereka memulai pengobatan.

"Hewan armadillo merupakan satu-satunya reservoir bakteri penyebab kusta yang bersifat zoonosis dan mengancam manusia. Mamalia kecil ini umum ditemukan di Amerika tengah dan selatan serta di beberapa bagian Texas, Louisiana, Missouri, dan negara bagian lainnya," tutur Schwartz.

Hewan ini terkadang dipelihara sebagai hewan peliharaan atau dibudidayakan untuk diambil dagingnya. Mengkonsumsi daging armadillo memang tidak mutlak menjadi penyebab penyakit kusta, namun menangkap dan memelihara armadillo, serta mengolah dagingnya, merupakan faktor risiko.

"Sejauh ini mekanisme penularan antara reservoir zoonosis dan individu yang rentan tidak diketahui. Namun diduga kuat bahwa kontak langsung dengan armadillo yang terinfeksi menimbulkan risiko besar terjadinya kusta," jelas Schwartz.

Masih Misteri

Banyak kasus yang dilaporkan di AS menunjukkan tidak adanya paparan zoonosis atau penularan dari orang ke orang di luar Amerika utara, sehingga menunjukkan bahwa penularan mungkin terjadi di tempat tinggal orang yang terinfeksi. Namun dalam banyak kasus, sumbernya masih merupakan misteri.

Genetika beberapa orang mungkin membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi kusta, atau sistem kekebalan tubuh mereka kurang mampu melawan penyakit tersebut. Stigma dan diskriminasi telah menghalangi masyarakat untuk mencari pengobatan, dan akibatnya, kasus-kasus yang "tersembunyi" berkontribusi terhadap penularan.

Penyakit kusta terutama menyerang kulit dan sistem saraf tepi, menyebabkan kelainan bentuk fisik dan menurunkan kepekaan seseorang untuk merasakan sakit pada kulit yang terkena. Ini mungkin dimulai dengan hilangnya sensasi pada bercak keputihan pada kulit atau kulit yang memerah.

Ketika bakteri menyebar di kulit, mereka dapat menyebabkan kulit menebal dengan atau tanpa bintil. Jika hal ini terjadi pada wajah seseorang, hal ini mungkin jarang menghasilkan kontur wajah yang halus dan tampak menarik yang dikenal sebagai lepra bonita atau kusta cantik.

Penyakit ini dapat berkembang hingga menyebabkan hilangnya alis, pembesaran saraf di leher, kelainan bentuk hidung, dan kerusakan saraf. Timbulnya gejala terkadang bisa memakan waktu hingga 20 tahun karena bakteri penular memiliki masa inkubasi yang lama dan berkembang biak secara perlahan di dalam tubuh manusia. Jadi mungkin banyak orang yang terinfeksi jauh sebelum mereka menyadarinya.

Untungnya, upaya di seluruh dunia untuk melakukan skrining kusta semakin ditingkatkan berkat organisasi seperti Ordo Saint Lazarus, yang awalnya didirikan pada abad ke-11 untuk memerangi kusta, dan Institut Penelitian Armauer Hansen, yang melakukan penelitian imunologi, epidemiologi, dan translasi di Ethiopia. Organisasi non-pemerintah Bombay Leprosy Project di India juga melakukan hal yang sama.

Saat ini penyakit kusta tidak hanya dapat dicegah tetapi juga dapat diobati. Namun menentang stigma dan memajukan diagnosis dini melalui tindakan proaktif sangat penting dalam misi mengendalikan dan memberantasnya di seluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia dan lembaga lain saat ini telah menyediakan terapi multi-obat tanpa biaya kepada pasien. Selain itu, teknologi vaksin untuk memerangi penyakit kusta sedang dalam tahap uji klinis dan mungkin tersedia di tahun-tahun mendatang.

"Jika para profesional kesehatan, peneliti biomedis, dan anggota parlemen tidak meningkatkan upaya mereka untuk memberantas kusta di seluruh dunia, penyakit ini akan terus menyebar dan dapat menjadi masalah yang jauh lebih serius di wilayah yang sebagian besar telah bebas kusta selama beberapa dekade," ucap Schwartz. hay/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.