Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Kasus BLBI - Syafruddin Akan Kooperatif Menjalani Proses Hukum

KPK Tahan Syafruddin Temenggung

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Hasil penyidikan KPK menunjukkan mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung diduga terkait dengan korupsi kasus BLBI. Untuk memudahkan penyidikan, KPK menahan Syafruddin.

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Syafruddin ditahan terkait dengan tindak pidana korupsi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Syafruddin Arsyad Temenggung ditahan di Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur Cabang Rutan KPK untuk 20 hari ke depan," kata Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, di gedung KPK, Jakarta, Kamis (21/12).

Tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan Syafruddin terkait dengan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

Syafruddin seusai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di gedung KPK, Jakarta, Kamis menyatakan saat menjabat Kepala BPPN sudah menjalani seluruh aturan, termasuk pemberian SKL tersebut. "Semua yang dikerjakan di BPPN sudah sesuai aturan. Sudah diaudit BPK dan dikerjakan dengan sebaik-baiknya," kata Syafruddin yang sudah mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK saat keluar gedung KPK.

Menurut Syafruddin, pemberian SKL itu juga telah mendapat persetujuan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). "Saya hanya ikuti aturan dan semua yang saya kerjakan di BPPN sudah sesuai," ucap Syafruddin.

Ia pun menyatakan akan kooperatif menjalani proses hukum hingga nanti menjalani proses persidangan. "Saya akan kooperatif melaksanakan apa yang disampaikan oleh KPK dan saya sampaikan di pengadilan nanti," tuturnya.

KPK telah menetapkan Syafruddin Temenggung sebagai tersangka pada April 2017. SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-Djakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Usulkan SKL

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui KKSK dengan mengubah atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar 4,8 triliun rupiah yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.

Dalam perkembanganya, berdasarkan audit investigatif BPK, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi 4,58 triliun rupiah. KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

n mza/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Mohammad Zaki Alatas

Komentar

Komentar
()

Top