Kewajiban Asuransi Kendaraan: Regulasi Perlindungan atau Beban Baru bagi Rakyat?
Kewajiban Asuransi Kendaraan Bebani Kelompok Menengah Bawah
Foto: antaraJAKARTA - Kebijakan wajib asuransi kendaraan bermotor, Third Party Liability (TPL) dinilai tak produkif dan hanya menambah beban masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Bahkan, efek lanjutannya dapat memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Dyah Ayu mengungkapkan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menimbang ulang risiko asuransi kendaraan wajib ke perekonomian. Menurutnya, pembayaran premi wajib TPL yang berkisar antara 40.000 hingga 200 ribu rupiah per tahun dapat mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income) masyarakat, terutama bagi kelompok menengah ke bawah.
Hal ini berpotensi menambah beban finansial rumah tangga. Saat ini, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai lebih dari 164 juta kendaraan bermotor di Indonesia.
"Momennya juga tidak pas dengan daya beli masyarakat yang sedang melemah," ucapnya saat dalam laporan Celios terkait kebijakan TPL ini.
Peneliti Celios lainnya, Rani menambahkan, jika tantangan implementasi kebijakan asuransi wajib juga cukup besar, termasuk rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar premi asuransi, ketidakpercayaan terhadap institusi asuransi, dan potensi tumpang tindih dengan skema Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) yang dikelola oleh Jasa Raharja.
“Risiko moral hazard dari berbagai pihak, termasuk pengemudi dan penyedia asuransi, juga dapat mengganggu fungsi pasar asuransi yang sehat,” kata Rani.
Jangka Panjang
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, memproyeksikan dampak jangka panjang kebijakan wajib asuransi TPL hingga 2045. Output ekonomi diprediksi berkurang sebesar 68,3 triliun rupiah dan produk domestik bruto (PDB) akan menyusut hingga 21 triliun rupiah.
Pendapatan masyarakat juga akan turun sebesar 20,7 triliun rupiah. Selain itu, penyerapan tenaga kerja berkurang hingga 3,4 juta orang.
Tak hanya itu, pendapatan daerah dari sektor penyediaan makan dan minum (mamin) juga akan terkena imbas, dengan penurunan sebesar 354 miliar rupiah.
Menurutnya, kebijakan wajib asuransi TPL, meskipun bertujuan untuk memberikan perlindungan finansial bagi pemilik kendaraan dan korban kecelakaan, berpotensi menimbulkan beban baru bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia.
"Kami menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kembali implementasi kebijakan ini dengan memperhatikan dampak sosial dan ekonomi yang mungkin terjadi,” lanjut Huda.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira memberikan beberapa rekomendasi untuk meminimalisir dampak negatif dari kebijakan wajib asuransi TPL. Pertama, asuransi TPL sebaiknya bersifat opsional, bukan wajib, untuk mengurangi beban finansial masyarakat.
Kedua, pemerintah dapat memberikan subsidi atau bantuan premi bagi penerima manfaat JKN-KIS, PKH, dan BPNT. Ketiga, perlu dibentuk sistem pengawasan yang melibatkan Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, dan OJK untuk memastikan transparansi dan integritas dalam pengelolaan asuransi TPL.
Keempat, papar Bhima, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengoptimalkan skema SWDKLLJ sebagai alternatif perlindungan tunggal, tanpa perlu mewajibkan asuransi TPL.
"Kelima, pemerintah disarankan melakukan penilaian kemampuan finansial masyarakat sebelum menerapkan kebijakan ini, guna memastikan bahwa asuransi TPL tidak menambah beban yang sudah ada," pungkasnya.
Berita Trending
- 1 Thailand Ingin Kereta Cepat ke Tiongkok Beroperasi pada 2030
- 2 Incar Kemenangan Penting, MU Butuh Konsistensi
- 3 Peneliti Korsel Temukan Fenomena Mekanika Kuantum
- 4 Menko Zulkifli Tegaskan Impor Singkong dan Tapioka Akan Dibatasi
- 5 Kepercayaan Masyarakat Dapat Turun, 8 Koperasi Bermasalah Timbulkan Kerugian Besar Rp26 Triliun