Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 14 Sep 2022, 07:25 WIB

Kerja Sama Energi Atom Myanmar dan Russia Picu Kekhawatiran

Foto: RFA/Myanmar Military

YANGOON - Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh rezim militer Myanmar dan perusahaan energi nuklir milik negara Russia untuk bersama-sama menilai pembangunan reaktor kecil di negara Asia tenggara itu menggarisbawahi upaya pencapaian jangka panjang junta terhadap senjata nuklir, kata para analis.

Myo Thein Kyaw, menteri sains dan teknologi rezim; Thuang Han, menteri tenaga listrik; dan Alexey Likhachev, chief executive officer di Perusahaan Energi Atom Negara Russia, menandatangani peta jalan untuk kerja sama saat mereka menghadiri Forum Ekonomi Timur pada 5-8 September di Vladivostok. Pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, turut menyaksikan acara penandatanganan perjanjian kerja sama itu.

"Kesepakatan itu akan memajukan kerja sama Russia-Myanmar di bidang energi nuklir, dan menilai kelayakan proyek reaktor nuklir skala kecil di Myanmar," kata Rosatom dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan 6 September.

Pada hari yang sama, junta mengumumkan bahwa mereka akan menggunakan energi nuklir untuk pembangkit listrik, penelitian ilmiah, produksi obat-obatan dan industri.

"Peta jalan tersebut menetapkan langkah-langkah yang ditentukan untuk kerja sama Russia-Myanmar lebih lanjut di bidang nuklir," kata pernyataan itu. "Khususnya dokumen perjanjian tersebut memberikan perluasan kerangka hukum bilateral, kemungkinan penerapan proyek reaktor modular kecil di Myanmar, serta pelatihan personel dan pekerjaan yang terkait dengan peningkatan penerimaan publik terhadap energi nuklir di Myanmar," imbuh pernyataan itu.

Reaktor modular kecil lebih kecil dari reaktor nuklir konvensional dan dapat dibangun di pabrik dan dikirim ke lokasi di mana mereka akan beroperasi dan menghasilkan tenaga listrik. Namun demikian, oposisi politik dan analis militer Myanmar menyatakan keprihatinan atas perjanjian tersebut, khawatir itu bisa menjadi awal dari upaya untuk menggunakan teknologi nuklir untuk tujuan jahat, mengingat konflik bersenjata internal yang sedang berlangsung di negara itu dan oposisi populer yang meluas terhadap rezim setelah kudeta Februari 2021.

Kapten Kaung Thu Win, seorang perwira militer yang bergabung dengan Gerakan Pertahanan Sipil antijunta (CDM), mengatakan kepada RFA Burma bahwa perjanjian itu adalah bagian dari upaya junta untuk akhirnya mengembangkan senjata nuklir.

"Kesepakatan ini menunjukkan tujuan mereka untuk mengembangkan senjata nuklir," ungkap dia. "Mereka akan mencoba mengembangkan senjata nuklir setelah mereka awalnya menggunakan teknologi untuk menghasilkan listrik. Mereka telah mencoba merekrut teknisi nuklir yang dibutuhkan untuk tujuan ini. Mereka memiliki tim teknisi yang menyelesaikan pelatihan di Russia. Ini adalah bagian dari strategi untuk memerintah rakyat dengan rasa takut. Mereka berpikir bahwa jika mereka memiliki senjata nuklir, itu akan meningkatkan ketakutan orang," tambah dia.

Rezim militer berturut-turut yang memerintah Myanmar di masa lalu memendam ambisi yang sama untuk mendapatkan senjata nuklir, dan junta saat ini tidak berbeda, kata Kaung Thu Win.

Myanmar dan Russia menandatangani perjanjian pendahuluan sebelumnya pada Juni 2015 untuk bekerja sama dalam penggunaan energi nuklir secara damai.

Min Aung Hlaing telah mengunjungi Russia tiga kali dalam 19 bulan sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintah yang dipilih secara demokratis dalam kudeta 1 Februari 2021, dan bertemu dengan pejabat Rosatom selama kunjungan keduanya pada Juli.

Berisiko dan Mahal

Sementara itu Hla Kyaw Zawl, seorang analis politik yang berbasis di Tiongkok, mengatakan rezim militer Myanmar harus menggunakan sumber daya non-nuklir yang lebih murah dan lebih mudah tersedia jika niat mereka hanya untuk menghasilkan listrik.

Keputusan untuk membangun reaktor nuklir yang mahal dan berisiko di Myanmar, sementara ekonomi negara itu berantakan, adalah tindakan mementingkan diri sendiri yang tidak akan melayani kepentingan rakyat, kata dia.

"Kami melihat tren negara-negara yang tidak memiliki hubungan baik dengan negara-negara Barat mengingat perlunya senjata nuklir untuk bertahan hidup," kata Hla Kyaw Zawl kepada RFA. "Jika rezim militer benar-benar peduli dengan kesejahteraan rakyat, mereka dapat menggunakan sumber energi berkelanjutan lainnya," imbuh dia.

Hla Kyaw Zawl juga mengatakan bahwa memilih energi nuklir adalah keputusan yang sangat berisiko dan mahal. "Myanmar tidak memiliki infrastruktur untuk mendukung teknologi itu. Ini adalah ambisi yang berlebihan yang hanya akan melayani kepentingan mereka sendiri," tegas dia.

Sedangkan Min Zaw Oo, direktur eksekutif Institut Perdamaian dan Keamanan Myanmar, mengatakan negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Asean) perlu memantau sesama anggota blok Myanmar dengan lebih hati-hati dan menyeluruh jika rezim militer membangun reaktor nuklir.

"Jika mereka maju, akan ada lebih banyak kekhawatiran di antara negara-negara Asean," kata dia. "Kekhawatiran mereka tidak terbatas pada Myanmar yang memiliki senjata nuklir. Juga akan ada kekhawatiran tentang menjaga reaktor nuklir. Jika ada bencana nuklir seperti ledakan, hal itu akan mempengaruhi seluruh wilayah. Dunia akan mengawasi dan mengkritik Myanmar lebih teliti jika rezim bergerak maju dengan tujuan ini," ucap dia.

Militer Myanmar telah bekerja untuk mendapatkan senjata nuklir selama beberapa dekade, kata para analis politik.

Rezim di bawah Jenderal Senior Than Shwe pada 1999 bernegosiasi dengan Russia untuk membangun reaktor nuklir tahun itu, tetapi rencana itu dibatalkan pada 2002.

Ketika Myanmar menjalin kembali hubungan dengan Korea Utara, mencapai teknologi nuklir sekali lagi menjadi tujuan, dan Thura Shwe Mann, seorang jenderal militer terkemuka, mengunjungi Pyongyang pada 2008 untuk mengamati fasilitas militer dan misil negara itu. Mayor Sai Thein Win, seorang perwira militer yang membelot, membocorkan informasi tentang bagaimana militer Myanmar di bawah Than Shwe berusaha mengembangkan senjata nuklir dengan teknologi dari Pyongyang.

Analis politik Than Soe Naing mengatakan Min Aung Hlaing mengikuti jejak diktator militer lainnya dalam mengejar teknologi nuklir, dan kemudian mengembangkan senjata.

"Mereka selalu maju untuk mengembangkan senjata nuklir setelah mereka mencapai reaktor nuklir, dan tidak hanya di Myanmar" kata dia. "Min Aung Hlaing cukup bertekad bahwa dia dapat mencegah tekanan dari AS dan negara-negara Barat jika mereka mencapai ambisi nuklir mereka dan mampu memperpanjang kekuasaan militer. Itulah mengapa Russia membantu mereka mencapai tujuan ini," imbuh dia.

Namun Thein Tun Oo , direktur eksekutif lembaga think tank Thaenaga Institute for Strategic Studies yang pro-militer, mengatakan dunia tidak perlu khawatir tentang prospek Myanmar mengembangkan senjata nuklir selama rezim militer bekerja di bawah pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

"Membangun reaktor nuklir di Myanmar dapat diterima karena akan membantu memenuhi kebutuhan listrik negara itu," kata dia. "Mengenai prospek pengembangan senjata nuklir dari limbah nuklir, seharusnya tidak menjadi perhatian selama limbah tersebut dikembalikan ke Russia di bawah pengawasan IAEA," imbuh dia.

Myanmar adalah anggota pendiri IAEA, meskipun tidak menghasilkan tenaga nuklir. Pada 2016, negara itu menandatangani kerangka kerja program negara dengan badan tersebut dan bergabung dengan Konvensi Keselamatan Nuklir, yang mewajibkan pihak-pihak yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir sipil berbasis darat untuk mempertahankan tingkat keselamatan yang tinggi.

Sejak 1992, Myanmar telah menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), yang tujuannya adalah untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata. Negara ini juga menandatangani Perjanjian Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif pada 2016, yang melarang ledakan uji coba senjata nuklir, dan Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir pada 2018, sebuah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum yang secara komprehensif melarang senjata nuklir dengan tujuan akhir total eliminasi. RFA/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Ilham Sudrajat

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.