Kamu Pasti Terkejut Bagaimana Demokrasi Dijalankan di Papua, Diwakili Kepala Suku Bagaimana Kalau Musyawarah Deadlock?
Ilustrasi kepala suku di Papua.
Foto: IstimewaYOGYAKARTA - Sistem demokrasi yang bergulir di tanahPapua, khususnya di wilayah kepala burung PulauPapua, terutama di Sorong, sedikit berbeda dari sistem demokrasi liberal atau demokrasi yang digunakan di daerah-daerah lainnya.
Hal ini diungkapkan oleh peneliti sekaligus dosen dari Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM, Haryanto dan Wigne Capri Arti, dalam acara 'Polgov Talk' yang disiarkan melalui kanal Youtube Department of Politics and Government - Universitas Gadjah Mada, pada pekan lalu.
Haryanto menjelaskan demokrasi yang berlangsung di wilayah Sorong tersebut dijalankan dengan mekanisme keterwakilan yaitu para kepala suku atau kepada Keret (sub-suku) lah yang mewakili warganya dalam panggung demokrasi.
"Dalam proses pengambilan keputusan bersama dalam kehidupan atau pemerintahan, biasanya mereka mengambil (keputusan) secara musyawarah. Tetapi, musyawarah itu belum tentu berhasil, kadang-kadang alot. Ini yang menjadi suatu persoalan kalau musyawarah tadi itu menemuideadlock(jalan buntu), (maka) keputusan bersama tidak bisa diambil. (Oleh karena itu) mereka anggota-anggota masyarakat (lalu) menyerahkan keputusan kepada pimpinannya," ungkap Haryanto.
Tentu, dengan mengetahui sistem demokrasi seperti itu, para kepala Keret atau para wakil yang mengambil keputusan untuk warganya, tampak mempunyai kuasa sewenang-wenang (otoriter). Namun, Haryanto mengungkapkan berdasarkan hasil peneltiannya bersama kolega bahwa hal tersebut tidak dilakukan.
"Ada potensi untuk dia bertindak (mengambil keputusan) sesuai keinginan dia pribadi (Kepala Keret), tapi hal ini tidak dilakukan," tegas Haryanto
Haryanto mengungkapkan ternyata ada keberadaan 'nilai' dalam masyarakat yang menjaga dari terjadinya otoritarian tersebut (penguasa yang sewenang-wenang). Nilai tersebutlah yang kemudian diketahui menjadicontroldan menciptakantrustatau kepercayaan antara Kepala Keret dan warganya. Nilai tersebut seperti yang termaktub dalam tradisi pertukaran Kain Timor.
"Ada nilai seperti ini: kalau seseorang memberi, maka itu adalah kewajiban bagi yang menerima untuk mengembalikan kepada pemberi. Si A memberikan sesuatu kepada Si B, Si B mempunyai kewajiban mengembalikan pemberian tadi kepada Si A. Kalau hal tersebut tidak dilakukan maka putuslah hubungan di antara mereka," pungkas Haryanto.
Selain itu, peneliti dan dosen DPP lainnya, Wigne Capri Arti, mengungkapkan ada dua prinsip menarik lainnya yang beredar di tengah masyarakat, terutama di Suku Moi. Pertama adalah prinsip kesetaraan. Kedua adalah prinsip sinagi.
Wigne menjelaskan bahwa prinsip kesetaraan dimaksudkan kepada bagaimana setiap orang dalam Suku Moi tersebut memiliki hak yang sama dalam menyampaikan aspirasi.
Sedangkan, prinsip sinagi berarti "kasih" dalam Bahasa Indonesia. Prinsip sinagi tersebut layaknya seperti integritas dan akuntabilitas.
Berita Trending
- 1 Ini Solusi Ampuh untuk Atasi Kulit Gatal Eksim yang Sering Kambuh
- 2 Sah, KPU Surabaya Tetapkan Eri-Armuji Raih Suara Terbanyak Pilkada Surabaya
- 3 Perluas Pasar, Produk Halal RI Unjuk Gigi di Istanbul
- 4 Jika Rendang Diakui UNESCO, Pemerintah Perlu Buat "Masterplan"
- 5 Jangan Masukkan Mi Instan dalam Program Makan Siang Gratis
Berita Terkini
- Sah! Paripurna DPR Setujui Capim dan Calon Dewas KPK 2024-2029
- Saksi RIDO di 10 Kecamatan Jakarta Selatan Tolak Tandatangani Rekapitulasi
- Dukung Energi Bersih, PLN EPI Perkuat Rantai Pasok Gas di Papua Utara
- Mitsubishi Pamerkan Xforce Ultimate with Diamond Sense di GJAW 2024
- Dukung Ketahanan Iklim, Gapki Rehabilitasi Mangrove di Tangerang