Jatuh Bangun Pelaku Usaha Kecil
Foto: istJogja Entreprenuer Community (JEC) sebagai komunitas entrepreneur berupaya mengajak pelaku bisnis di tingkat UKM untuk lebih memahami usaha.
Para pelaku usaha kecil menengah (UKM) kerap memaknai usaha sekadar peluang mencari nafkah untuk makan esok hari. Padahal, usaha tidak sekadar memproduksi barang, lalu dijual ke konsumen. Bisnis perlu dikelola supaya memiliki umur panjang atau minimal tidak terjerat rentenir. Ibu-ibu rumah tangga merupakan kalangan yang banyak melakoni usaha di tingkat UKM.
Dalam menjalankan usahanya, mereka kerap melakukannya tanpa modal dan manajemen memadai. Namun, mereka memiliki harapan tinggi. Usaha tersebut menjadi peluang mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan pangan sehari-hari. Namun, roda bisnis tidak selamanya berjalan mulus.
Baru menginjak bulan ketiga, usaha yang dilakukan sudah kembang kempis karena barang tidak laku maupun kehabisan modal. Untuk menutup kekurangan modal, cara paling gampang adalah meminjam rentenir. Dana segar dari para rentenir meluncur sekitar satu sampai tiga juta rupiah seolah sebagai penyelamat bisnis.
Persoalannya pun tidak lantas selesai, karena dana pinjaman rentenir memiliki bunga yang mencekik. Alhasil, hasil usaha habis hanya untuk membayar bunga. M Widyo Witjaksono, 54, pendiri JEC melihat kondisi tersebut di kalangan UKM terutama di Yogyakarta. Asal jalan dulu yang penting bisa hidup menjadi kesepakatan yang tidak tertulis di kalangan UKM. "Setelah saya di kuliner, saya melihat dunia kuliner yang selama ini tidak pernah saya temui. Ternyata, yang saya temui ya seperti itu," ujar dia yang dihubungi, Rabu (15/3) malam. Laki-laki yang banting stir menjalankan usaha kuliner untuk membantu istrinya usai pensiun dari bisnis properti, tergerak untuk membantu para UKM sebatas kemampuannya.
Dalam kegiatannya, JEC berupaya memberikan pelatihan untuk para anggotanya, baik dalam pelatihan keuangan maupun keterampilan menjalankan bisnis. Tujuannya tidak lain, supaya pelaku UKM memiliki dapat bertahan dan memiliki daya saing dalam berbisnis.
Untuk itu, berbagai instansi diajak serta untuk memberikan pelatihan untu para UKM. JEC menggandeng Kadin untuk memberikan pelatihan dan penyuluhan. Lalu, M Widyo Witjaksono yang biasa disapa Dewo lantaran memiliki usaha Nasi Kebuli MatDewo juga menggandeng Pegadaian serta Bank Jateng, supaya para UKM memiliki sumber pendanaan yang lebih mengutungkan ketimbang mengandalkan rentenir.
Selain itu, pendanaan dapat diperoleh melalui pemerintah kodya melalui program Badan Usaha Kredit Pedesaan. Komunitas juga mengundang Dinas Kesehatan untuk memberikan penyuluhan syarat kebersihan. Program yang telah berjalan kurang lebih satu tahun tidak sepenuhnya mendapatkan respon positif dari anggota JEC.
"Tidak semua UKM menerima niat baik kita. Kadang-kadang, mereka bergabung karena ingin mendapatkan kemudahan dan pengetahuan," ujar dia.
Dalam pelatihan dan workshop yang diadakan JEC, peserta yang datang cenderung tak berubah. Kemajuan perkembangan usaha sepenuhnya tergantung pada keinginan pelaku usaha untuk mengembangkan diri. Dewo mengaku dirinya tidak dapat mengontrol perkembangan usaha anggotanya satu per satu.
Pelatihan maupun workshop merupakan salah satu upaya untuk membantu pengembangan usaha anggotanya. Salah satunya, mereka akan diberikan pengetahuan manajemen mengenai pemisahan modal usaha dengan dana pribadi. Pengetahuan lainnya berupa menjaga kebersihan selama memasak untuk menjaga kualitas makanan.
Komunitas yang berdiri pada 2018 telah memiliki anggota resmi sebanyak 100 orang, sedangkan anggota resmi sebanyak 500 orang. Anggota tidak resmi ini tergabung dalam dua WhatsApp Group, lantaran setiap group hanya dapat menampung 250 nomor.
Dalam group tersebut mereka akan saling tukar informasi maupun pelatihan, salah satunya informasi bazar yang banyak diikuti para anggota. Lalu, JEC juga mendaftarkan anggotanya ke Gojek maupun Grab untuk membantu pengembangan usaha.
Pengetahuan Kuliner Menjadi Modal Inovasi Produk
Pengetahuan tentang makanan menjadi modal untuk mengembangkan usaha di bidang kuliner. Pengetahuan tersebut akan menuntun pelaku untuk melakukan inovasi bahkan memperluas usahanya. Kuliner merupakan bisnis yang tengah marak, khususnya sebelum wabah Covid-19 menerjang. Usaha yang dapat dikatakan berasal dari dapur ini makin digandrungi tatkala kuliner telah menjadi gaya hidup. Kuliner tidak sekadar untuk mengisi perut, tetapi sebagai pengalaman menikmati sebuah menu makanan. Alhasil, inovasi dalam kuliner pun makin dicari oleh penggemarnya. M Widyo Witjaksono, 54, pendiri Jogja Entreprenuer Community (JEC) mengatakan bahwa tantangan pelaku usaha kuliner adalah pengetahuan.
"Tantangannya, saya pikir kemampuan tentang kuliner itu sendiri," ujar dia. Pengetahuan tentang kuliner akan menjadi landasan untuk mengembangkan produk. Sebagai contoh ayam geprek, pelaku usaha perlu memahami cita rasa ayam geprek bahkan bahan pembuatnya. Sebelumnya, mereka perlu berinovasi pada menu tersebut.
Upaya tersebut tidak lain agar hasil inovasi tidak menghilangkan cita rasa ayam geprek yang cenderung pedas. Hal serupa jika ingin melakukan inovasi pada gudeg, pengetahuan cita rasa gudeg tidak akan hilang meskipun ada sentuhan inovasi. Sehingga, konsumen tidak bingung dengan produk-produk baru yang ditawarkan. Pangsa pasar merupakan tolok ukur untuk menentukan menu-menu kuliner yang akan ditawarkan ke masyarakat.
Seperti di Yogyakarta, kota yang menjadi acuan pendidikan anak muda Tanah Air lebih menawarkan kuliner yang tengah tren, seperti thai tea maupun tokayaki.
Hal tersebut tidak lain menu yang ditawarkan disesuaikan dengan selera anak muda. Sebagai komunitas entrepreneur yang kebanyakan anggotanya merupakan pelaku usaha kuliner, JEC tidak melakukan riset khusus terhadap menumenu makanan maupun minuman yang tengah diminati konsumen. M Widyo Witjaksono, yang biasa disapa Dewo, memilih lebih untuk bertukar pikiran dengan para anggota JEC. Mereka dapat menentukan orientasi bisnisnya masing-masing. "Kalau orientasi bisnisnya hanya untuk hidup dari hari ke hari ya silakan, bisa cari menu yang musiman seperti es kepal," ujar dia.
Strategi marketing merupakan salah satu yang disosialisasikan komunitas. Pasalnya, tingkatan bisnis tidak berpengaruh pada energi yang dikeluarkan. Maksudnya, bisnis dengan orientasi jangka panjang maupun jangka pendek membutuhkan pengelolaan energi yang tidak jauh berbeda. din/S-2
Redaktur: Sriyono
Penulis: Dini Daniswari
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Regulasi Baru, Australia Wajibkan Perusahaan Teknologi Bayar Media Atas Konten Berita
- 2 Ini yang Dilakukan Pemkot Jaksel untuk Jaga Stabilitas Harga Bahan Pokok Jelang Natal
- 3 RI Harus Antisipasi Tren Penguatan Dollar dan Perubahan Kebijakan Perdagangan AS
- 4 Kemendagri Minta Pemkab Bangka dan Pemkot Pangkalpinang Siapkan Anggaran Pilkada Ulang Lewat APBD
- 5 Terapkan SDGs, Perusahaan Ini Konsisten Wujudkan Sustainability Action Plan
Berita Terkini
- Kemendagri Tekankan Pentingnya Kapasitas dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Keuangan Daerah
- Wamendagri Bima Arya Dorong Pemda Tingkatkan PAD untuk Wujudkan Indonesia Emas 2045
- Wamendagri Bima Arya Tekankan Peran Strategis DPRD dalam Pembangunan Nasional dan Daerah
- Bom Meledak di Sebuah Festival di Thailand, 3 Orang Tewas Puluhan Terluka
- Ferrari Berambisi Rebut Gelar Konstruktor pada F1 2025