Jalan Panjang Mendapatkan Izin Vaksin Merah Putih Hingga Inavac
Guru Besar Virologi dan Imunologi, Fakultas Kedokteran Hewan Unair, Fedik Abdul Rantam
Sedangkan yang nonreplikatif setelah tiga kali penyuntikan akan mati, tidak bisa replikasi, tinggal proteinnya. Makanya dulu sempat kita menggunakan yang non replikatif. Tapi dalam perjalanan saat kita proses memasukkan gen ke dalam rekonstruksi virus itu karena besar, menjadi tidak lengkap, sehingga ada bagian protein yang bolong. Berarti tidak bisa maksimal menginduksi antibodi. Maka dalam mendesain vaksin tergantung dari sifat virus itu sendiri. Patogenesisnya seperti apa, juga pertimbangan halal atau tidak. Dalam pengembangan, kita selalu diaudit oleh LPOM MUI, kalau tidak halal tidak bisa dipakai. Oleh karena itu, pemerintah mengimpor yang halal.
Disebut memiliki efektivitas 80 persen, bisa dijelaskan?
Inavac kombinasi dari potensinya kuat, efektif cepat, ekonomis. Soal efektivitas 80 persen, artinya kalau virus yang menginfeksi sama dengan virus vaksin maka akan 100 persen. Kalau berbeda akan ada perubahan, ada yang turun 10 persen dan sebagainya. Inavac cukup tinggi karena punya protein yang komplit mulai protein S, RWB, N, membran untuk menetralisir infeksi virus.
Dari situ terlihat bahwa kemampuan vaksin tersebut untuk menginduksi cukup tinggi. Ini memang kelebihan yang whole virus, tapi memang produksinya cukup mahal, karena harus membiakkan virus di fasilitas BCL-3. Kalau rekombinan tidak perlu seperti itu karena protein cukup dititipkan pada virus yang tidak mematikan pada manusia aman-aman saja.
Fasilitas BCL-3 bertekanan udara negatif, sistem sirkulasu harus divalidasi sehinga perlu waktu. Kita punya, tapi untuk hewan. Ini yang skala industri untuk proses memperbanyak vaksin. Saat kita tawarkan ke Biofarma tidak punya BCL 3. Akhirnya di Biotis.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Redaktur Pelaksana
Komentar
()Muat lainnya