Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Indonesia-Vietnam Sepakati Batas ZEE Setelah 12 Tahun Berunding

Foto : Biro Setpres

Indonesia dan Vietnam menyepakati sejumlah nota kesepahaman dalam pertemuan bilateral, Kamis (22/12).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Indonesia dan Vietnam akhirnya menyepakati batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) setelah 12 tahun berunding.

Kesepakatan tersebut disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Republik Sosialis Vietnam Nguy?n Xuân Phúc di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (22/12).

"Setelah melakukan perundingan intensif selama 12 tahun, Indonesia dan Vietnam akhirnya dapat menyelesaikan perundingan mengenai garis batas ZEE kedua negara berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982," ungkap Jokowi seperti disiarkan VOA, KAmis (23/12).

Jokowi juga menyatakan harapannya bahwa kedua negara dapat segera memfinalisasi kerja sama dalam sektor perikanan dan pemberantasan praktik penangkapan ikan ilegal atau illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing.

"Saya berharap kerja sama perikanan dan pemberantasan IUU fishing dapat diperkuat melalui percepatan finalisasi MoU kerja sama kelautan dan perikanan," tambahnya.

Presiden Phuc pun menyampaikan bahwa pemerintah Vietnam menyambut baik kerja sama bilateral yang tercapai antara Indonesia-Vietnam dalam lawatannya kali ini. Selain itu menurutnya isu-isu internasional harus menjadi kepentingan bersama.

"Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Presiden (Jokowi) terkait dengan hubungan kemitraan strategis yang baik antara Indonesia dan Vietnam. Dalam mengatasi berbagai tantangan, kita harus meningkatkan kepercayaan politik dan juga meningkatkan kerja sama ekonomi," tutur Presiden Vietnam.

Peneliti Madya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sandy Raharjo mengatakan berbagai dampak positif bisa dihasilkan dari tercapainya kesepakatan tersebut, terutama kemungkinan menurunnya tingkat penangkapan ikan ilegal atau pelanggaran kedaulatan yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara atau Laut China Selatan secara umum.

"Karena selama ini kalau berdasarkan data dari Kementerian KKP ataupun misalnya kemarin kami ke Natuna, memang kebanyakan kapal-kapal yang ditangkap itu berasal dari Vietnam, terus ada dari Thailand, Tiongkok dan Malaysia. Dan sering sekali nelayan dari Vietnam itu tertangkap di wilayah kita dan kemudian akhirnya menjadi tahanan imigrasi di Pulau Natuna," ungkap Sandy kepada VOA.

Selain itu, katanya kesepakatan ini akan mengukuhkan posisi Indonesia dalam konstelasi sengketa di Laut Tiongkok Selatan, meskupun secara legal formal, Indonesia sendiri tidak memiliki sengketa dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Namun, katanya, dalam konteks geopolitik terdapat over claim area antara Indonesia dengan Tiongkok.

"Dengan semakin menguatnya posisi Indonesia karena batasnya lebih jelas di Laut Natuna Utara atau di Laut Tiongkok Selatan itu dengan Vietnam, kemungkinan besar akan juga mempengaruhi proses akselerasi atau percepatan dari perundingan antara Indonesia dengan Malaysia, terkait dengan ZEE juga yang belum selesai di Laut Tiongkok Selatan. Karena memang ada irisan antara perbatasan kita antara Vietnam dan Malaysia. Malaysia dan Vietnam juga punya batas. Jadi kalau tiga segmen ini bisa segera selesai akan sangat menguntungkan ketiga negara, untuk menguatkan posisi mereka masing-masing dalam konstelasi sengketa di Laut Tiongkok Selatan," katanya.

Lalu mengapa tercapainya kesepatan terkait batas negara itu berlangsung cukup lama? Sandy menjawab bahwa untuk merundingkan sebuah batas negara tidak bisa ditempuh dalam waktu yang cepat. Ia mencontohkan Indonesia dengan Malaysia terkait landas kontinen belum mencapai kesepakatan sampai detik ini meski perundingan sudah berlangsung sejak tahun 1960-an.

"Dengan Vietnam menurut saya agak sedikit bagus progress-nya, sama dengan perundingan kita dengan Filipina itu juga lumayan lebih cepat daripada dengan negara-negara lain. Dan itu sesuatu yang wajar sebenarnya, dalam konteks memutuskan dimana letak batas dari masing-masing negara. Jadi 12 tahun relatif OK," tambahnya.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top