Kamis, 14 Nov 2024, 18:45 WIB

Indonesia Bisa Tiru Model Pemberdayaan Ini, Pembuatan Alat Musik Etnik Hidupkan Sebuah Desa di Xinjiang Tiongkok

Nurdun Esmayil membuat alat musik tradisional rewap di halaman rumahnya di Desa Xinhe, Tiongkok barat laut, baru-baru ini.

Foto: ANTARA/Xinhua/Liu Mengqi

Urumqi- Di sebuah halaman kecil yang diterangi cahaya, di bawah punjung tanaman anggur, Nurdun Esmayil (65) sedang membuat alat musik tradisional buatan tangan bersama keluarga dan murid-muridnya.

Meskipun tidak bisa membaca notasi musik, pendengaran Esmayil yang tajam memungkinkan dia untuk membuat dan memainkan alat musik tradisional tersebut secara presisi.

Berasal dari sebuah desa di wilayah Xinhe, Daerah Otonom Uighur Xinjiang, Tiongkok barat laut, Nurdun Esmayil ialah perajin ahli yang berspesialisasi dalam pembuatan alat musik tradisional berdawai khas Uighur, seperti dutar, tambur, dan satar.

Sebagai kota penting di sepanjang Jalur Sutra kuno hingga 2.000 tahun silam, wilayah Xinhe terkenal dengan musik dan tarian tradisional Kucha, yang diambil dari nama kerajaan kuno Kucha.

Tiongkok memandang pentingnya pelestarian budaya etnik, pengakuan keterampilan kerajinan tradisional sebagai warisan budaya takbenda, serta penggiatan perusahaan-perusahaan untuk membantu pewarisan keterampilan kerajinan tradisional. Oleh karena itu, penduduk setempat mengembangkan industri pembuatan alat musik etnik sebagai sumber pendapatan utama.

Terlahir di keluarga pembuat alat musik, Nurdun Esmayil sudah menggeluti bisnis itu selama lebih dari 40 tahun.

Pada 2008, teknik pembuatan alat musik etnik dari wilayah Xinhe ditambahkan ke dalam daftar warisan budaya takbenda nasional Tiongkok. Pada tahun yang sama, Nurdun Esmayil secara resmi diakui sebagai pewaris tradisi ini di tingkat daerah di Tiongkok, dan menerima dukungan finansial untuk melanjutkan pekerjaannya.   

Esmayil telah melatih lebih dari 100 murid, mewariskan pengetahuannya guna memastikan seni ini tidak punah. Metode yang digunakannya sangatlah teliti.

"Pembuatan pasak penyetel (tuning peg) dapat dikuasai dalam sepekan, tapi, untuk memenuhi standar saya, mereka harus mempelajarinya dalam waktu setidaknya setahun," kata Esmayil, seraya menekankan tingkat presisi seperti yang diajarkan ayahnya saat dia masih muda.

Material yang digunakan Esmayil bervariasi dari tahun ke tahun, mulai dari kayu murbei tradisional hingga jenis kayu impor internasional lainnya. Dawai tradisional berbahan dasar usus domba telah diganti dengan nilon modern.

"Tidak seperti di masa lalu, ketika sangat sulit untuk mengirimkan sepotong kayu yang ideal ke rumah karena jalanan yang rusak dan ketiadaan kendaraan, kami kini dapat memperoleh material apa pun yang dikirim dari berbagai tempat di dunia," tutur dia.

Saat ini, desa tersebut menjadi rumah bagi lebih dari 120 perajin alat musik yang memproduksi lebih dari 50 jenis alat musik, dengan lebih dari 20.000 alat musik terjual setiap tahunnya.

Melihat potensi warisan budaya takbenda yang unik di desa ini, pemerintah setempat mengubah citra daerah tersebut sebagai tujuan wisata dengan julukan "desa alat musik", yang menarik pengunjung dari seantero Tiongkok maupun mancanegara.

Terinspirasi oleh rekan-rekannya, Nurdun Esmayil sedang mempertimbangkan untuk mendaftarkan sebuah merek dagang agar dapat meneruskan warisan budaya tersebut secara lebih baik dan menjadikannya sebagai warisan bagi keluarganya.

Terlahir di era internet, cucu laki-lakinya yang berusia 12 tahun gemar bermain drum dan menari untuk menyambut para pengunjung, menunjukkan potensi yang menjanjikan sebagai calon penerus warisan musik keluarga Esmayil.

"Jika saya bisa memulai dari awal, saya akan belajar teori musik, membaca notasi musik, dan memainkan semua jenis musik yang saya inginkan," kata Nurdun Esmayil sambil mengamati cucunya dengan penuh perhatian.
 

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Antara

Tag Terkait:

Bagikan: