Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 31 Jan 2025, 01:15 WIB

Ketimpangan Pendapatan Menyulitkan RI Lolos dari “Middle Income Trap”

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas)

Foto: istimewa

JAKARTA - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai 6-7 persen untuk keluar dari middle income trap (jebakan pendapatan negara kelas menengah).

Deputi Bidang Perencanaan Makro Pembangunan Eka Chandra Buana di Jakarta, Kamis (30/1) mengatakan Indonesia hanya punya waktu sekitar 21 tahun menuju Indonesia Emas 2045.

“Itu tahun yang tidak panjang. Untuk itu, kita harus bisa keluar dari middle income trap, caranya pertama adalah memang ekonomi harus tumbuh paling tidak 6 sampai 7 persen,” kata Eka.

Apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia 7 persen, maka Indonesia bisa keluar dari middle income trap sebelum 2040. Jika tumbuh 6 persen, lanjutnya, Indonesia dapat keluar dari jebakan tersebut sekitar 2041.

Sejumlah target yang ditetapkan pemerintah untuk menjadi negara maju pada 2045 adalah memiliki pendapatan per kapita 30.300 dollar Amerika Serikat (AS), menurunkan kemiskinan dan ketimpangan hingga mendekati 0 persen, meningkatkan human capital masyarakat, lalu pengaruh dan kepemimpinan Indonesia di kawasan meningkat, hingga pengelolaan lingkungan berkelanjutan dan penurunan emisi gas rumah kaca.

“Ini yang menjadi syarat yang harus kita lakukan untuk kita maju,” kata Eka.

Untuk mencapai tujuan itu, ia menyampaikan beberapa tantangan yang perlu diatasi.

Pertama, pertumbuhan inklusif di Indonesia masih relatif tertinggal dibandingkan negara lain yang terlihat pada inclusive indeks.

Kedua, adanya ketimpangan pendapatan dengan posisi Indonesia nomor dua tertinggi dibandingkan negara lainnya.

Selanjutnya, tingkat produktivitas yang masih rendah, padahal aspek ini merupakan modal penting ketika hendak membangun suatu bangsa. “Kalau kita bandingkan dengan negara-negara se-kawasan memang agak tertinggal, yaitu kalau kita lihat dari skor PISA (Programme for International Student Assessment) ini masih relatif rendah,” katanya.

Begitu pula human capital index Indonesia dibandingkan negara lain jadi masih rendah. Belum lagi penurunan penduduk kelas menengah dan maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) beberapa juta orang.

Dari eksternal, ketidakpastian perekonomian karena situasi geopolitik dan geoekonomi turut menjadi tantangan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal yang tak kalah penting adalah kesenjangan antar wilayah barat dengan timur yang cukup tinggi di dalam pembangunan Indonesia.

Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJ) Aloysius Gunadi Brata, mengatakam untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar itu tidaklah mudah. Meskipun pertumbuhan tinggi, tetapi yang diperlukan adalah bagaimana meningkatkan pendapatan per kapita. Sebab, sumber-sumber pertumbuhan tradisional tidak lagi cukup untuk membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.

“Indonesia telah terjebak selama puluhan tahun. Sejak awal 1990-an, Indonesia masuk ke dalam kelompok lower-middle income. Namun, saat krisis moneter 1998, Indonesia sempat turun ke kategori low income sebelum akhirnya kembali naik ke lower-middle income di masa pemulihan ekonomi,” katanya.

Ketika pandemi Covid-19 melanda, Indonesia kembali mengalami kemunduran sebelum akhirnya kembali masuk ke kelompok middle income pada 2022.

“Pendapatan per kapita Indonesia masih jauh dari target yang hendak dicapai di tahun 2045. Karena itu, kita harus benar-benar mengkaji strategi pertumbuhan ekonomi ke depan,” kata Aloysius.

Tidak Lagi Andal

Salah satu kendala utama dalam mencapai pertumbuhan 6-7 persen adalah stagnasi produktivitas dan deindustrialisasi prematur. Indonesia mengalami perlambatan dalam sektor industri bahkan sebelum mencapai puncak industrialisasi, sehingga ekonomi masih sangat bergantung pada sektor konsumsi dan komoditas. Selain itu, beban kebergantungan yang meningkat akibat populasi yang menua serta masalah kelas menengah yang masih menghadapi kesulitan mobilitas sosial juga menjadi penghalang.

“Tanpa inovasi, Indonesia akan sulit untuk tumbuh dengan sumber pertumbuhan yang baru. Meskipun investasi dan infusi teknologi sudah berjalan cukup baik, inovasi di dalam negeri masih menjadi tantangan besar,” kata Aloysius.

Lebih lanjut dia menekankan bahwa strategi keluar jebakan tersebut tidak cukup hanya mengandalkan tiga faktor utama yaitu inovasi, investasi, dan infusi teknologi, tetapi Indonesia perlu menambahkan satu aspek krusial, yaitu institusi (kelembagaan).

Dalam formula Bank Dunia, negara-negara yang ingin naik kelas harus memiliki strategi berbasis inovasi, yang berarti peningkatan riset dan pengembangan, adopsi teknologi, serta kebijakan yang mendorong daya saing industri.

Masalahnya, di Indonesia, aspek institusional sering kali menjadi penghambat utama, mulai dari regulasi yang tidak efisien, birokrasi yang lambat, hingga ketidakpastian hukum.

“Kelembagaan yang kuat adalah kunci utama agar strategi pertumbuhan bisa berjalan efektif. Tanpa reformasi kelembagaan, target keluar dari middle income trap hanya impian,” pungkasnya.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.