Ilmuwan Kembangkan Teknologi Ubah CO2 Jadi Antioksidan Likopen
Seorang perempuan dan anaknya bersepeda dekat pembangkit listrik tenaga batu bara, di Beijing, beberapa waktu lalu. Ilmuwan Tiongkok mengembangkan teknologi yang dapat mengubah karbon dioksida (CO2) jadi antioksidan kuat, likopen.
Foto: AFP/FREDERIC J. BROWNMOSKWA - Para ilmuwan Tiongkok telah mengembangkan teknologi yang dapat mengubah karbon dioksida (CO2) menjadi antioksidan kuat, likopen, demikian laporan surat kabar South Tiongkok Morning Post pada Senin (23/9).
Likopen merupakan antioksidan kuat yang memberikan banyak manfaat kesehatan, termasuk perlindungan dari sinar matahari, meningkatkan kesehatan jantung, serta menurunkan risiko beberapa jenis kanker.
Seperti dikutip dari Antara, likopen juga diyakini efektif melawan obesitas, diabetes, dan beberapa penyakit pernapasan. Likopen, yang banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, dan makanan, diketahui tidak mudah untuk diproduksi.
Misalnya, mengekstraksi likopen dari tanaman alami memakan waktu, sedangkan sintesis kimianya merupakan proses yang rumit dan memakan banyak energi. Selain itu, likopen juga cukup mahal, dengan biaya hingga lima juta yuan (sekitar 708.800 dollar AS atau sekitar 10,8 miliar rupiah) per ton.
Namun, tim peneliti dari Universitas Pertanian Qingdao berhasil mengembangkan teknologi biologi sintetik yang mampu mengatasi masalah-masalah tersebut. Pemimpin tim, Profesor Yang Jianming, memutuskan untuk menggunakan metode biologis yang disebut teknologi fiksasi karbon. Dalam metode ini, organisme mengubah karbon dioksida menjadi senyawa organik, seperti yang terjadi pada fotosintesis tanaman.
Teknologi yang dikembangkan oleh Yang dan timnya ini menggunakan mikroorganisme sebagai bioreaktor untuk memproduksi bahan kimia, material, atau obat-obatan, dan juga mampu mengurangi emisi gas rumah kaca.
Ramah Lingkungan
Profesor Yang menyatakan teknologi ini memiliki keunggulan karena merupakan cara yang sederhana, berbiaya rendah, dan ramah lingkungan untuk memproduksi likopen.
Sementara itu seperti dikutip dari DW, dunia harus melenyapkan satu miliar ton CO2 sampai tahun 2025 untuk mencapai persetujuan iklim Paris. Itu artinya, kita harus mempercepat langkah. Perusahaan seperti Covestro yang berbasis di Jerman mengubah CO2 menjadi bahan baku yang bisa digunakan untuk apa saja.
Misalnya kasur, peralatan medis, kaos kaki, sepatu olahraga, kursi di mobil, pembungkus telepon, lapisan dinding, lapisan lantai, dan lain-lain. Kedengarannya bagus. Tapi apakah ini akan punya dampak serius dalam kadar CO2 kita? Bagaimanakah penampakan karbon yang sudah didaur ulang?
Upaya penyimpanan karbon sebetulnya sudah ada sejak beberapa dekade lalu. Tahun 1970-an, perusahaan minyaklah yang menggunakan emisi untuk memompa CO2 ke dalam sumur untuk memperbaiki kualitas minyak.
Kita juga bisa mengubah gas polusi itu, dan menempatkannya di dalam tanah. Tapi, mengapa tidak mendaur ulang menjadi benda lain? Teknologi ini namanya Carbon Capture and Utilization atau CCU. Sekarang teknologi ini sedang naik daun. Jadi, apa yang bisa kita buat dengan karbon hasil daur ulang?
Susan Fancy adalah manajer program dari Inisiatif Global CO2 di Universitas Michigan. Ia sangat antusias dengan CCU. Ia mengungkap karbon ada di hampir semua benda. Kalau saya pergi ke toko baju, sebagian besar kainnya sekarang dibuat dari serat sintetik, yang dasarnya adalah bahan bakar fosil. Misalnya kasur ini, sebagian besarnya dibuat dari busa poliuretan.
Christoph Gürtler mengembangkan produk di perusahaan Covestro, dan tahu sangat banyak tentang busa. Ia menunjukkan sebuah blok besar busa poliuretan, yang berbobot sekitar 10 sampai 20 kilogram. Jadi kita mengambil CO2, dan menggantikan sebagian bahan baku fosil yang dibutuhkan untuk membuat kasur ini.
Proses ini menggantikan sekitar 20 persen yang berasal dari fosil dengan CO2 yang didaur ulang. Di Uni Eropa, lebih dari 30 juta kasur dibuang setiap tahunnya. Jika itu semua ditumpuk, pasti tingginya sekitar 678 kali tingginya puncak tertinggi Himalaya, Mount Everest.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI
Berita Terkini
- 7 Obat Herbal Terbukti Efektif untuk Memperbaiki Metabolisme Tubuh
- ASDP Batasi Angkutan Barang Demi Kelancaran Lintas Merak-Bakauheni, Cek Jadwalnya!
- Tak Disangka, Hello Kitty Kini Berusia 50 Tahun, Jadi Saksi Imut Kisah Sukses Jepang
- Harga Pangan Hari Minggu Secara Umum Turun, Bawang Merah Rp40.220/Kg
- Nasionalisme dalam Sepakbola Menurut Teori Filsafat Permainan