Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Hukum Potensial Pro Koruptor

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Putusan MA bagai petir di siang bolong. Setelah Bawaslu mengingkari PKPU dan Pakta Integritas, kini MA mengekor dengan mengabulkan uji materiel atas pasal tentang syarat pencalonan legislatif serta DPD. Jika dilihat, baik Pasal 4 Ayat 3 PKPU No 20 Tahun 2018 maupun Pasal 60 huruf j PKPU No 26 Tahun 2018 bukan hanya mempermasalahkan mantan narapidana kasus korupsi.

Dalam pasal tersebut disebutkan secara bersamaan, dalam pengajuan bakal calon legislatif dan DPD tidak menyertakan mantan terpidana korupsi, bandar narkotika, dan kejahatan seksual terhadap anak. Maka, MA tidak menggali lebih dalam nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat, ubi societas ibi ius. Di mana ada masyarakat di sana ada hukum. Ini berarti, hukum tercipta karena adanya nilai-nilai yang dianggap benar maupun tidak di dalam masyarakat. Hukum itu untuk masyarakat. Hukum itu dekat dengan masyarakat karena tujuan hukum itu untuk melindungi rakyat.

MA dikenal sebagai judex juris. Artinya, dalam pengambilan putusan MA hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, tidak memeriksa fakta dari perkaranya. Cara MA mengambil keputusan menggambarkan, hukum negara ini masih bersifat prosedural. Penerapan hukum UU Pemilu terhadap PKPU mungkin dinilai tidak selaras oleh sebagian pihak. Sebab UU Pemilu masih membolehkan seseorang mantan narapidana mencalonkan diri. Itulah peraturan perundangundangan yang dibuat tidak selalu mewakili rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

UU tipikor mengadopsi ancaman pidana paling tinggi hukuman mati dan pidana denda paling banyak 1 miliar rupiah. Yang paling rendah pidana penjara 4 tahun. UU Perlindungan Anak mengancam pelaku kejahatan seksual terhadap anak dengan ancaman pidana penjara paling tinggi 15 tahun, rendah 5 tahun, disertai denda paling banyak 5 miliar rupiah. UU Narkotika menjatuhkan nestapa bagi pelakunya berupa pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun disertai denda. Ketiga tindak pidana tersebut dikenal sebagai kejahatan luar biasa, sehingga penanganannya secara materil dan formil berbeda dari kejahatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ketiga tindak pidana tersebut diancam sanksi berat karena bahaya laten yang ditimbulkan. Bukan rahasia umum, pelaku ketiga tindak pidana yang masuk blacklist KPU acap kali mengulangi perbuatannya (residivis) bahkan melahirkan pelaku- pelaku baru secara berjamaah.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top