Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Hukum Potensial Pro Koruptor

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Dinda Balqis

Pada hari Kamis (13/9), Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan atas gugatan uji materiil Pasal 4 Ayat 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi/ Kabupaten/Kota. Selain itu, MA juga mengabulkan gugatan uji materiel atas Pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan DPD.

Kedua pasal PKPU tadi dianggap bertentangan dengan Pasal 240 Ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang menyatakan, bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi/ kabupaten/ kota adalah Warga Negara Indonesia. Dia harus memenuhi persyaratan, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, yang bersangkutan mantan terpidana.

Putusan MA bagai petir di siang bolong. Setelah Bawaslu mengingkari PKPU dan Pakta Integritas, kini MA mengekor dengan mengabulkan uji materiel atas pasal tentang syarat pencalonan legislatif serta DPD. Jika dilihat, baik Pasal 4 Ayat 3 PKPU No 20 Tahun 2018 maupun Pasal 60 huruf j PKPU No 26 Tahun 2018 bukan hanya mempermasalahkan mantan narapidana kasus korupsi.

Dalam pasal tersebut disebutkan secara bersamaan, dalam pengajuan bakal calon legislatif dan DPD tidak menyertakan mantan terpidana korupsi, bandar narkotika, dan kejahatan seksual terhadap anak. Maka, MA tidak menggali lebih dalam nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat, ubi societas ibi ius. Di mana ada masyarakat di sana ada hukum. Ini berarti, hukum tercipta karena adanya nilai-nilai yang dianggap benar maupun tidak di dalam masyarakat. Hukum itu untuk masyarakat. Hukum itu dekat dengan masyarakat karena tujuan hukum itu untuk melindungi rakyat.

MA dikenal sebagai judex juris. Artinya, dalam pengambilan putusan MA hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, tidak memeriksa fakta dari perkaranya. Cara MA mengambil keputusan menggambarkan, hukum negara ini masih bersifat prosedural. Penerapan hukum UU Pemilu terhadap PKPU mungkin dinilai tidak selaras oleh sebagian pihak. Sebab UU Pemilu masih membolehkan seseorang mantan narapidana mencalonkan diri. Itulah peraturan perundangundangan yang dibuat tidak selalu mewakili rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

UU tipikor mengadopsi ancaman pidana paling tinggi hukuman mati dan pidana denda paling banyak 1 miliar rupiah. Yang paling rendah pidana penjara 4 tahun. UU Perlindungan Anak mengancam pelaku kejahatan seksual terhadap anak dengan ancaman pidana penjara paling tinggi 15 tahun, rendah 5 tahun, disertai denda paling banyak 5 miliar rupiah. UU Narkotika menjatuhkan nestapa bagi pelakunya berupa pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun disertai denda. Ketiga tindak pidana tersebut dikenal sebagai kejahatan luar biasa, sehingga penanganannya secara materil dan formil berbeda dari kejahatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ketiga tindak pidana tersebut diancam sanksi berat karena bahaya laten yang ditimbulkan. Bukan rahasia umum, pelaku ketiga tindak pidana yang masuk blacklist KPU acap kali mengulangi perbuatannya (residivis) bahkan melahirkan pelaku- pelaku baru secara berjamaah.

Prosedural

Langkah KPU mencegah narapidana kasus korupsi, narkotika, dan kejahatan seksual terhadap anak melalui PKPU untuk melahiran wakil rakyat berintegritas. Dapat dibayangkan posisi wakil rakyat yang dibebani pembuatan legislasi, anggaran, dan pengawasan, dikuasai orang-orang korup?

Bisa-bisa peraturan perundang- undangan dibuat justru melahirkan pasal-pasal yang memberi peluang orang berbuat korupsi. APBN/APBD dibelokkan untuk membiayai kepentingan mereka. Peran pengawasan kendor menjadi melakukan kejahatan massal. Penerapan hukum masih cenderung bersifat prosedural atau kaku, menutup mata pentingnya penerapan hukum progresif.

Hukum progresif digagas Satjipto Rahardjo yang prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa, khususnya bidang hukum. Menurutnya, hukum progresif harus membebaskan baik dalam cara berpikir maupun bertindak, sehingga mampu membiarkan hukum mengalir untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi, tidak ada rekayasa atau keberpihakan dalam menegakan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan menciptakan keadilan dan kesejahteraan (Satjipto Rahardjo, 2004:154).

Mantan Ketua MK, Mahfud MD, menyatakan, bagi seorang hakim, hukum progresif bertumpu pada keyakinan, tidak terbelenggu pada rumusan undangundang. Hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penemuan hukum (rechvinding). Hakim jangan hanya menjadi corong undang-undang. Jangan hanya berkutat pada persoalan formal prosedural. Hakim memerlukan interpretasi mendalam untuk memberi putusan terhadap suatu permasalahan. Hakim harus berani bertanya pada diri sendiri, apakah putusan yang akan dijatuhkan mewakili perasaan keadilan masyarakat?

Peraturan yang baik tidak boleh kaku karena nilai keadilan pada dasarnya berbedabeda. Sebagaimana nilai dalam PKPU No 20 Tahun 2018 dan PKPU No 26 Tahun 2018 adil bagi masyarakat yang menginginkan lembaga legislatif berintegritas dan jujur.

MA memiliki kewenangan besar dalam uji materil peraturan di bawah UU terhadap UU. Palu MA membuat PKPU tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Kegagahan PKPU hilang. MA seakan mengabaikan nilai kebenaran di dalam masyarakat. Rakyat pada umumnya sependapat bahwa korupsi, narkotika, dan kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan.

Setiap pemilu seakan menjadi pintu masuk untuk melahirkan koruptor-koruptor baru. Korupsi sudah menjangkit berbagai lembaga negara. Sudah tak terhitung jumlah kerugian negara yang ditimbulkan. Mandeknya upaya percepatan kesejahteraan karena korupsi. Namun, beberapa pihak seakan tidak malu mengatakan, korupsi bukan kejahatan luar biasa.

MA sebagai lembaga peradilan semestinya berpihak pada kebenaran dan keadilan. Palu MA memupuskan harapan masyarakat memiliki wakil rakyat yang bersih. Sehingga upaya untuk mewujudkan lembaga legislatif yang tidak korup di tahun 2019 kini berada di tangan rakyat. Warga harus menjadi pemilih cerdas. KPU diharapkan memberi edukasi secara berkelanjutan kepada masyarakat.

KPU tak boleh dihalangi untuk menyiarkan calon legislatif yang pernah memiliki rekam jejak sebagai narapidana korupsi, narkotika dan kejahatan seksual terhadap anak. Sehingga saat masyarakat mendatangi tempat pencoblosan pada tahun 2019 mendatang, sudah tahu sosok yang tidak pantas untuk dipilih.

Penulis Alumna Fakultas Hukum Universitas Andalas

Komentar

Komentar
()

Top