Paulus Angre Edvra, Unika Soegijapranata
Efek social distancing atau pembatasan sosial di masa pandemi Covid-19 lalu telah meningkatkan penggunaan aplikasi kencan daring atau dating apps seperti Tinder dan OkCupid dengan pesat.
Secara global, jumlah pengguna aplikasi kencan daring pada 2020 mencapai 293,7 juta, naik dari 283,5 juta pengguna di 2019. Tren peningkatan ini terus berlanjut pada 2021 dengan kenaikan sekitar 10,3% menjadi 323,9 juta pengguna. Data terakhir pada 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 366 juta orang di dunia telah menggunakan aplikasi kencang daring.
Serupa dengan tren global, jumlah pengguna aplikasi kencan daring di Indonesia juga terus meningkat. Pada 2019, terdapat 3,5 juta pengguna, kemudian naik menjadi 3,9 juta pada 2020. Peningkatan ini terus berlanjut pada 2021 dengan total 4,2 juta pengguna, bertambah menjadi 4,4 juta pengguna pada 2022, 4,5 juta pengguna pada 2023, hingga 4,6 juta pengguna pada 2024.
Dengan berbagai fitur interaktif, aplikasi kencan daring mempermudah pengguna dalam interaksi sosial dan mencari pasangan. Namun di lain sisi, ada ancaman risiko privasi dan keamanan yang mengintai akibat eksposur data pribadi yang tak terhindarkan.
Kasus yang pernah dilaporkan berkaitan dengan kencan daring seperti penipuan hingga perkosaan. Sebuah studi juga menyebut pelecehan seksual rentan terjadi.
Hasil riset saya bersama dua rekan penulis—yang saat ini sedang dalam proses submisi ke Jurnal Communio—menunjukkan bahwa aplikasi kencan daring juga berisiko menimbulkan penguntitan, pencurian foto atau data pribadi untuk pinjaman online atau pinjol, hingga teror mistis seperti santet yang menyebabkan dampak fisik (kerugian) dan psikis (depresi) pada korban.
Temuan riset
Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode studi kasus dengan fokus pada area geografis tertentu dan subjek penelitian yang terbatas. Kami melakukan studi dokumen dan wawancara mendalam terhadap lima narasumber, yang merupakan pengguna aplikasi kencan daring.
Kami memilih lima perempuan dari kalangan generasi Z sebagai subjek penelitian. Perempuan dipilih sebagai subjek karena mereka lebih rentan menjadi korban cyber crime di aplikasi kencan daring dan generasi Z yang paling aktif di media sosial atau medsos. Semarang menjadi lokasi penelitian kami karena beberapa kasus kriminal yang melibatkan aplikasi kencan daring pernah terjadi di ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini.
Hasil studi kami menunjukkan empat dari lima subjek penelitian mengalami dampak buruk dan perilaku tidak menyenangkan saat menggunakan aplikasi kencan daring. Di antaranya pencurian foto dan penguntitan, penggunaan identitas untuk pinjaman online, dan teror mistis.
1. Dikejar penguntit
Pada kasus pertama, narasumber 1 (19 tahun) mengalami penguntitan di media sosial. Narasumber mengaku salah satu fotonya dalam pose seksi dicuri pelaku, lalu pelaku mengancam akan menyebarkannya di sosial media. Akibat kejadian tersebut, narasumber merasa waswas dan tidak aman, dan akhirnya mengatur semua akunnya menjadi privat.
Kasus selanjutnya, narasumber 2 (20 tahun) juga mengalami penguntitan. Narasumber mengaku belum pernah bertemu dengan pelaku dan berbagi informasi yang bersifat privat, namun pelaku tahu banyak informasi pribadi tentang dirinya.
“Pelaku pernah bilang, kalau dia tahu motorku, pelat nomorku, sampai alamat rumahku,” ujarnya.
Usai mengetahui hal tersebut, narasumber 2 buru-buru memutus hubungan dengan pelaku. Namun, ia sempat mengalami depresi hingga membutuhkan bantuan student care dari kampusnya.
Kasus ketiga, narasumber 3 (19 tahun) menyebutkan bahwa ia pernah membagikan alamat kosnya kepada seorang kenalan di aplikasi kencan daring. Akibatnya, narasumber 3 selalu dikuntit, sehingga membuatnya takut dan cemas untuk keluar kos sendirian.
2. Tak berhutang, tapi terpaksa bayar cicilan
Dampak secara fisik terjadi pada narasumber keempat yang kami wawancarai. Foto dan informasi pribadi yang ia cantumkan di aplikasi kencan daring dicuri dan digunakan untuk mengajukan pinjaman online, sehingga ia yang harus menanggung cicilannya.
Narasumber 4 (26) tidak bersedia mengungkapkan jumlah kerugian, namun sejak kejadian itu, ia berhenti mengunggah foto wajahnya di aplikasi.
“Sekarang saya menghindari upload foto wajah karena takut dijadikan pinjaman online. Pernah kejadian sebelumnya,” ujar narasumber 4 (26).
3. Teror mistis
Narasumber yang sama juga mengaku mengalami fenomena mistis setelah fotonya diambil pelaku dari aplikasi. Narasumber 4 merasa mendapat serangan pelet karena menjadi sering memimpikan dan memikirkan pelaku. Mengatasi ini, narasumber 4 akhirnya menemui ahli agama untuk menghilangkan efek tersebut.
Kejadian-kejadian tidak menyenangkan di atas membuat para narasumber melakukan total breakdown atau memutus hubungan secara total dengan kenalan mereka di aplikasi kencan daring. Selain itu, para narasumber juga mengatur privasinya dengan lebih ketat daripada sebelumnya.
Pentingnya kewaspadaan akan privasi
Temuan di atas menegaskan pentingnya menjaga privasi dengan cermat saat menggunakan aplikasi kencan daring. Sebab, ada banyak sekali bahaya nyata yang mengintai pengguna, mulai dari risiko privasi hingga keamanan yang bisa menyebabkan dampak fisik dan juga psikis.
Setidaknya ada empat tips agar lebih aman saat menggunakan aplikasi kencan daring;
Pertama, jangan sembarangan mengunggah foto pribadi. Foto yang diunggah dapat dicuri dan disalahgunakan, misalnya untuk pinjaman online atau disebarluaskan tanpa izin.
Kedua, hindari membagikan informasi pribadi secara berlebihan. Alamat rumah, nama asli, dan tempat kerja/sekolah sebaiknya tidak dipublikasikan di profil atau dibagikan kepada pengguna lain yang baru dikenal.
Ketiga, upayakan untuk selalu bertemu di tempat umum yang ramai. Jangan biarkan kenalan dari aplikasi kencan daring menjemput di rumah. Sebab, hal ini bisa berisiko memicu penguntitan.
Keempat, jangan ragu membatasi interaksi jika merasa tidak nyaman. Kalau melihat ada perilaku yang mencurigakan atau ancaman, segera hentikan komunikasi dan blokir.
Dua mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata, Michelle Catarina Hariyanto dan Lie Tamisha Zarika, berkontribusi dalam artikel ini sebagai asisten penulis.
Paulus Angre Edvra, Lecturer, Unika Soegijapranata
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.