![](https://koran-jakarta.com/img/site-logo-white.png)
Keraton Kasepuhan, Simbol Kemegahan Cirebon di Masa Lalu
Foto: Koran Jakarta/Fajar AMPada awal pembangunannya. Keraton Kasepuhan dibangun oleh Pangeran Emas Zainul Arifin dengan maksud untuk memperluas bangunan pesanggrahan Keraton Pakungwati.
Mengunjungi Cirebon seolah belum lengkap jika tidak mampir di Keraton Kasepuhan. Tempat ini bukan hanya menawarkan sejarah masa lalu kerajaan Cirebon namun juga melihat gaya arsitektur bangunan sarat makna simbolis yang mencerminkan konsep berpikir masyarakat di pesisir utara pulau Jawa ini.
Keraton Kasepuhan berada di Jalan Kasepuhan Nomor 43, Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Cirebon, Jawa Barat. Posisinya hanya kira-kira 1 kilometer dari bibir pantai laut Jawa, tidak heran ketika berkunjung ke sini suhunya terasa cukup panas.
Keraton tersebut didirikan oleh Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati pada tahun 1529 Masehi atau tahun 1451 Saka. Tahtanya diteruskan oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II bergelar Panembahan Pakungwati I pada tahun 1506 yang bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon.
Keraton Kasepuhan dulunya bernama ‘Keraton Pakungwati,” sebutan ini berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia seorang putri yang disebut cantik rupawan berbudi luhur dan bertubuh kokoh serta dapat mendampingi suami, baik dalam bidang Islamiyah, pembina negara maupun sebagai pengayom yang menyayangi rakyatnya.
Pakungwati wafat pada tahun 1549 dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Namanya diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama keraton yaitu Keraton Pakungwati. Namun nama ini kemudian berganti menjadi Keraton Kasepuhan sedangkan Pakungwati hanya menjadi salah satu bagian dari keratin ini.
Nama Kasepuhan sendiri muncul setelah pelantikan Sultan Sepuh I yaitu PR Syamsudin Martawijaya pada tahun 1679 seperti yang tercatat dalam Dagh Register gehouden int casteel Batavia 1624-1682. Keraton ini berisi kompleks bangunan bersejarah yaitu Dalem Agung Pakungwati yang didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana (1430 – 1479) merupakan keturunan dari Kerajaan Pajajaran
Saat ini bangunan peninggalan kesultanan Cirebon yang masih terawat dengan baik. Seperti halnya keraton-keraton di Jawa bangunan Keraton Kasepuhan menghadap ke arah utara. Arah ini menjadi model tata letak keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir yang kemudian banyak diikuti menjadi desain pemerintahan kabupaten/kota terutama di Jawa.
Di depan keraton Kasepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Lokasi yang lapang ini juga sebagai titik pusat tata letak kompleks pemerintahan keraton.
Di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan juga pentas perayaan kesultanan lalu juga sebagai tempat rakyat berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman dari sultan yang berkuasa.
Di sebelah barat Keraton Kasepuhan terdapat masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah pusat perekonomian yaitu pasar yang sekarang disebut dengan Pasar Kesepuhan yang sangat terkenal dengan teh pocinya.
Ketika memasuki kawasan keraton, pengunjung akan disuguhi keindahan arsitektur dan interior yang khas dari bangunan-bangunan di sana. Struktur bangunan keraton didominasi oleh warna cat putih yang mencolok dan masih mempertahankan dinding batu bata yang khas.
Taman-taman hijau dan pepohonan yang mengelilingi kawasan keraton menambahkan suasana asri yang memikat. Bangunan keraton dilengkapi dengan pendopo dan singgasana raja, yang menjadi ciri khas dari arsitektur keraton.
Secara keseluruhan, bangunan Keraton Kasepuhan mencerminkan perpaduan gaya arsitektur dari budaya Hindu dan Islam. Terlihat pula pengaruh dari budaya Tiongkok dan Belanda yang masih memengaruhi desain bangunan tersebut.
Untuk memasuki Keraton Kasepuhan pengunjung akan melewati gerbang. Keraton ini memiliki dua buah pintu gerbang, pintu gerbang utamanya terletak di sebelah utara dan pintu gerbang kedua berada di selatan kompleks.
Gerbang utara disebut Kreteg Pangrawit artinya jembatan baik. Sedangkan di sebelah selatan disebut Lawang Sanga artinya pintu sembilan. Setelah melewati Kreteg Pakungwati akan sampai di bagian depan keraton, di bagian ini terdapat dua bangunan yaitu Pancaratna dan Pancaniti.
Bangunan Pancaratna berada di kiri depan kompleks arah barat berdenah persegi panjang dengan ukuran 8 × 8 m. Lantai tegel, konstruksi atap ditunjang empat soko guru di atas lantai yang lebih tinggi dan 12 tiang pendukung di permukaan lantai yang lebih rendah.
Atap dari bahan genteng, pada puncaknya terdapat mamolo. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat seba atau tempat yang menghadap para pembesar desa yang diterima oleh demang atau wedana. Secara keseluruhan memiliki pagar berupa terali besi.
Sedangkan banunan Pancaniti berarti jalan atasan, merupakan pendopo sebelah timur yang merupakan tempat para perwira keraton melatih para prajurit ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun dan sebagai tempat pengadilan.
Bangunan yang berukuran 8 × 8 m dengan lantai tegel ini terbuka tanpa dinding. Tiang-tiang yang berjumlah 16 buah memiliki atap yang terbuat dari sirap. Sedangkan di sekelilingnya memiliki pagar berapa terali besi.
Keraton ini memiliki area yang disebut Siti Inggil. Bangunan dengan nama lain lemah duwur dalam bahasa Cirebon sehari-hari ini berada pada posisi tinggi dan tampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit.
Di sebelah utara bernama Gapura Adi dengan ukuran 3,70 × 1,30 × 5 m sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng dengan ukuran 4,50 × 9 m, pada sisi sebelah timurnya gapura terdapat bentuk banteng.
Pada bagian bawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451 saka atau 1529 M. Relief hewan ini merupakan simbol dari tahun candra sangkala yang menjelaskan berdirinya keraton. Terdiri dari Kuta berarti satu, Bata berarti lima, dan Tinata berarti empat dan banteng itu sendiri. Dari penjabaran itu artinya 145 atau 1529.
Selain Relief Benteng keraton ini syarat dengan simbol lainnya. Area Langgar Agung atau mushola agung di Keraton Kasepuhan ditandai dengan adanya pos Bedug Samogiri di sebelah kiri. Lokasinya berada di batas antara area Siti inggil dengan halaman Langgar Agung.
Siti Inggil dan Langgar Agung dibatasi oleh tembok dari bata bata merah. Pada tembok bata bagian utara terdapat dua gerbang yaitu Regol Pengada dan Gapura Lonceng. Regol Pengada dengan ukuran 5 × 6,5 m memiliki bentuk paduraksa ini menggunakan batu dan daun pintunya dari kayu. Gapura Lonceng terdapat di sebelah timur Gerbang Pangada dengan ukuran panjang dasar 3,10 × 5 × 3 m.
Gerbang ini berbentuk kori agung (gapura beratap) menggunakan bahan bata. Area langgar Agung ini terbagi dua yaitu halaman Pengada dan halaman Langgar Agung yang keduanya dipisahkan dengan tembok yang rendah.
Bangunan utama Langgar Agung berukuran 6 × 6 m dengan luas teras 8 × 2,5 m. Bagian terasnya berdinding kayu setengah dari permukaan lantai sementara setengah bagiannya lagi diberi terali kayu. Dinding bangunan utama merupakan dinding tembok, mihrabnya berbentuk melengkung berukuran 5 × 3 × 3 m.
Untuk menuju area utama Keraton Kasepuhan dari area tersebut harus melewati gerbang yang dilengkapi dua daun pintu terbuat dari kayu. Karena pintunya jika dibuka dan ditutup akan berbunyi maka disebut Lawang Gledegan yang berbunyi seperti guntur.
Bangunan utama ini memiliki beberapa bangunan atau ruangan seperti Bangunan Induk Keraton. Lunjuk, Taman Dewadaru, Museum Benda Kuno, Museum Kereta, Tugu Manunggal, dan Sri Manganti. Lunjuk merupakan bangunan Lunjuk berfungsi untuk melayani tamu, mencatat serta melaporkan kepentingannya kepada Sultan. Bangunan ini berukuran 10 × 7 m, berada di sebelah Tugu Manunggal berfungsi melayani tamu dalam mencatat dan melaporkan urusannya menghadap raja. hay
Berita Trending
- 1 Inter Milan Bidik Puncak Klasemen Serie A
- 2 Di Forum Dunia, Presiden Prabowo Akui Tingkat Korupsi Indonesia Mengkhawatirkan
- 3 Polda Kalimantan Tengah Proses Oknum Polisi dalam Kasus Penipuan Pangkalan Gas Elpiji
- 4 Program KPBU dan Investasi Terus Berjalan Bangun Kota Nusantara
- 5 India Incar Kesepakatan Penjualan Misil dengan Filipina Tahun Ini
Berita Terkini
-
Drone Berhulu Ledak Hantam Pelindung Radiasi PLTN Chernobyl, Ukraina Tuding Russia
-
Presiden Targetkan 6 Juta Siswa Sudah Terima Program MBG Akhir Juli 2025
-
Kapolri Dukung Swasembada Jagung Nasional Tingkatkan Ketahanan Pangan
-
The Script Sukses Gelar Konser Bertajuk Satellites World Tour di Jakarta
-
Cristiano Ronaldo, Atlet dengan Bayaran Tertinggi 2024