Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 18 Agu 2021, 06:10 WIB

Harus Transparan Soal Komponen Biaya PCR

Tenaga kesehatan melakukan tes usap Antigen dan Polymerase Chain Reaction (PCR) di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (28/7/2021).

Foto: ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/rwa

S

elain 3M, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun dari air mengalir, dan memakai masker, pemerintah juga gencar mendukung strategi 3T (testing, tracing, dan treatment) guna mencegah laju penularan Covid-19. Maksudnya, masyarakat diminta bersedia melakukan testing atau pengecekan kesehatan, kemudian membuka diri dilakukannya penelusuran kontak kasus positif, serta segera menjalani treatment atau perawatan dengan benar bila merasakan gejala Covid-19.

Sayangnya strategi 3T untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 terkendala dengan mahalnya biaya testing. Awal-awal pandemi, saat angka penularan belum begitu tinggi, harga tes antibodi bervariasi antara 75 ribu rupiah hingga 150 ribu rupiah. Karena dinilai hasilnya kurang valid, tes antibodi ditiadakan dan yang diperbolehkan hanya tes usap antigen dan tes PCR.

Tes PCR hasilnya lebih valid, tapi sayang harganya mahal. Hingga awal Oktober 2020, untuk tes yang hasilnya diketahui paling lama 24 jam, biayanya di atas satu juta rupiah. Hingga akhirnya pemerintah membuat aturan, biaya tes PCR paling mahal 900 ribu rupiah. Praktiknya, masih ada beberapa lembaga kesehatan yang mematok tarif di atas batas maksimal.

Sebenarnya ada yang gratis di puskesmas-puskesmas, tapi sayang hasilnya terlalu lama keluar. Ada yang tiga hari bahkan ada juga yang seminggu baru diketahui hasilnya. Tidak jarang si pasien sudah sembuh dari isolasi, hasil tes PCR baru keluar.

Masyarakat bukannya tidak mau mengeluarkan uang untuk tes PCR secara mandiri, hanya saja biayanya memang terlalu mahal, sekali tes 900 ribu rupiah. Jika hasilnya positif, setelah menjalani isolasi harus tes lagi. Itu pun hasilnya belum tentu negatif. Minimal dibutuhkan dua kali tes agar seseorang bisa dinyatakan sembuh dan bisa beraktivitas seperti semula. Dua kali tes berarti 1,8 juta rupiah, tentu itu bukan uang yang kecil.

Masyarakat enggan melakukan tes dan akhirnya strategi 3T tidak bisa berjalan. Padahal 3T adalah kunci memutus rantai penularan Covid-19. Maka tak heran jumlah kasus baru dalam beberapa bulan terakhir angkanya selalu di atas 20.000 karena enggannya orang melakukan tes PCR.

Presiden Joko Widodo minggu (16/8) lalu sudah meminta agar harga maksimal tes Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi Covid-19 sebesar 550 ribu rupiah dan hasilnya dapat diketahui maksimal 1x24 jam. Tentu saja ini kabar baik bagi kita semua. Tujuannya agar strategi 3T bisa berjalan. Namun tetap saja biaya maksimal 550 ribu rupiah masih terlalu mahal, terlebih bila dibandingkan dengan harga tes PCR di India yang hanya 96.000 rupiah.

Pemerintah harus transparan soal biaya tes PCR ini. Menjelaskan komponen-komponen apa saja yang membentuk biaya tersebut supaya masyarakat tidak merasa dibohongi. Wajar masyarakat beranggapan seperti itu, karena begitu banyak kritikan mengapa harga tes PCR kita jauh lebih mahal dibanding India, harga tes PCR bisa turun. Jadi selama ini keuntungan yang didapat lembaga kesehatan, baik rumah sakit maupun klinik begitu besar. Bukan hanya sebulan atau dua bulan, tetapi sejak awal pandemi.

Dan yang terpenting, semoga saja dengan penurunan harga tes PCR tidak mengurangi kualitasnya. Tidak ada lembaga yang berbuat curang, akal-akalan, hanya mengambil sampel dengan usap lantas hasilnya keluar tanpa diproses di laboratorium. Pemerintah harus mengawal dan mengawasi proses tes PCR. Bukan berburuk sangka, tetapi pengalaman membuktikan begitu banyak cara licik dilakukan oleh beberapa oknum untuk meraih keuntungan pribadi di masa pandemi ini. ν

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.