Gelombang Panas Landa Kanada dan AS
Bermain Air l Anak-anak bersuka ria bermain air di sebuah air mancur saat gelombang panas menerpa Place des Arts di Montreal, Quebec, Kanada pada 21 Juni tahun lalu. Gelombang panas kembali terjadi tahun ini di Kanada dengan suhu terpanas tercatat di Desa Lytton di British Columbia dengan suhu tercatat mencapai 46,6 derajat Celsius.
Foto: AFP/Eric THOMASOTTAWA - Sebagian besar wilayah di Amerika Serikat (AS) dan Kanada pada Minggu (27/6) mengalami suhu panas yang memecahkan rekor sehingga memaksa sekolah-sekolah dan pusat pengujian Covid-19 ditutup dan acara hari akhir kualifikasi cabang olahraga atletik Olimpiade di Kota Eugene, Oregon, terpaksa ditunda penyelenggaraannya dari sore hari ke malam hari.
"Desa Lytton di British Columbia memecahkan rekor suhu tertinggi sepanjang masa di Kanada, dengan temperatur 46,6 derajat Celsius," kata Environment Canada.
Sementara itu Dinas Cuaca Nasional AS (National Weather Service/NWS) melaporkan bahwa suhu terpanas di AS telah terjadi di kota terbesar Oregon yaitu Portland, dimana suhu udara tercatat mencapai 44,4 derajat Celsius, memecahkan rekor panas di kota itu sehari sebelumnya.
"Gelombang panas yang berkepanjangan, berbahaya, dan yang belum pernah terjadi dalam sejarah akan bertahan hingga pekan ini," kata Environment Canada, yang memperkirakan suhu mendekati 40 derajat Celsius akan dirasakan di beberapa wilayah negaranya seperti di British Columbia, Alberta, dan sebagian Saskatchewan, Yukon, dan Northwest Territories.
Sementara terkait gelombang panas di daratan AS, pihak NWS juga telah mengeluarkan peringatan yang serupa. "Gelombang suhu panas yang lebih buruk akan terus datang," ungkap NWS.
Rekor suhu teramat panas semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. Secara global, satu dekade terakhir hingga 2019, tercatat sebagai yang terpanas, dan lima tahun terpanas semuanya terjadi dalam lima tahun terakhir.
Gelombang panas yang melanda Kanada dan AS ini diduga karena ada kubah panas akibat adanya dataran tinggi yang menjebak udara hangat di wilayah tersebut. Menurut Nick Bond, seorang ilmuwan atmosfer di University of Washington, fenomena cuaca ekstrem ini tidak sepenuhnya disebabkan oleh perubahan iklim, tetapi diperparah olehnya. "Perubahan iklim amat berpengaruh dalam hal ini, tetapi jelas merupakan faktor sekunder," pungkas dia. SB/AFP/I-1
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
Berita Terkini
- Status Pailit Sritex, Berikut Penjelasan BNI
- Arab Saudi: Habis Minyak Bumi, Terbitlah Lithium
- Misi Terbaru Tom Cruise: Sabotase Pasukan Jerman!
- AirNav Pastikan Kelancaran Navigasi Penerbangan Natal dan Tahun Baru 2024/2025
- Sambut Natal 2024, Bank Mandiri Bagikan 2.000 Paket Alat Sekolah hingga Kebutuhan Pokok di Seluruh Indonesia