“Food Security" Adalah Keamanan Nasional, Lebih Penting dari Persenjataan
PAMERAN INOVASI PRODUK PANGAN I Pengunjung memilih bahan pangan yang ditampilkan dalam Pangan Plus Expo 2023 di Jakarta, Sabtu (30/9). Pameran ini bagian dari Rakernas IV PDI Perjuangan yang menampilkan inovasi produk pangan, hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan.
» Pertanian sekarang kondisinya memprihatinkan karena tidak ada lagi anak muda yang ingin menjadi petani. Harus ada reformasi kebijakan agar dunia pertanian menarik untuk digeluti anak muda.
JAKARTA - Kondisi pangan di Tanah Air sangat mengkhawatirkan sebab telah lama terjadi pembiaran pangan nasional dikuasai oleh para pedagang yang mengandalkan impor. Petani sebagai prajurit pangan Tanah Air dan tanah sebagai senjatanya dibiarkan mati pelan-pelan oleh serbuan impor pangan.
"Bahkan pembangunan bendungan yang digembor-gemborkan untuk mengairi sawah, yang terjadi malah di masa kemarau ini kering. Lihat saja Bendungan Jatigede di Jabar sekarang, kering, bekas jalan raya dan perkampungan yang dijadikan bendungan kini muncul lagi. Artinya apa? Artinya rakyat bisa menduga soal pangan sampai bendungan itu proyek saja, rent seeking, bukan bagaimana food security kita terjaga," kata pengamat pertanian dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Rudi Casrudi, kepada Koran Jakarta, Minggu (1/10).
Rudi tak habis pikir dari tahun ke tahun produksi pangan Tanah Air terus turun dan impor terus membesar. Rakyat bisa mengatakan para pemimpin negeri ini telah melakukan hal subversif karena menghancurkan food security. Kalau pemimpin tidak mengerti food security adalah keamanan nasional, ya bukan pemimpin, tapi pedagang.
"Karena tanpa kedaulatan pangan, negara bisa kolaps. Pemimpin harus tahu bahwa pangan lebih penting dari persenjataan nasional. Nah, bagaimana mungkin swasembada kalau yang dibesarkan adalah rent seeking impor pangan?" tandas Rudi.
Ketahanan apalagi kedaulatan pangan tidak akan pernah dimulai karena negara membiarkan semua pejabat pengambil keputusannya adalah para rent seeker impor pangan. Impor gandum 100 persen dibiarkan terus membesar kuantitinya. Kedelai produk petani lokal hanya cukup untuk konsumsi sebulan, artinya 11 bulan lainnya harus impor. Pangan lokal dibiarkan hancur dan semua jadi pemakan beras.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Marcellus Widiarto
Komentar
()Muat lainnya