Eropa Alami Musim Panas Terpanas yang Picu Peningkatan Kasus Kematian
Turis menyejukkan diri saat gelombang panas melanda Dubrovnik, Kroasia, pada 9 Juli 2024.
Brussel - Eropa mengalami musim panas terpanasnya pada 2024, seiring gelombang panas intens dan kekeringan parah melumpuhkan pertanian dan menyebabkan peningkatan kasus kematian yang berkaitan dengan cuaca panas di seantero Benua Biru.
Gelombang panas musim panas yang paling parah melanda Eropa bagian selatan dan timur, di mana suhu sering kali melampaui 40 derajat Celsius. Di banyak negara seperti Slovakia, Rumania, dan Kroasia, suhu tinggi berkepanjangan menyebabkan kekeringan yang meluas.
Layanan Perubahan Iklim Copernicus (Copernicus Climate Change Service/C3S) Uni Eropa (UE) pada Jumat (6/9) merilis sebuah laporan yang menunjukkan bahwa rata-rata suhu musim panas (Juni-Agustus) di seluruh wilayah Eropa 1,54 derajat Celsius lebih tinggi dari periode tahun 1991-2020 yang menjadi basis perbandingan, melampaui rekor sebelumnya, yaitu 1,34 derajat Celsius yang tercatat pada 2022.
Agustus 2024 menjadi bulan terpanas kedua yang pernah tercatat di kawasan itu, dengan suhu 1,57 derajat Celsius di atas rata-rata pada periode 1991-2020.
Gelombang panas musim panas yang paling parah melanda Eropa bagian selatan dan timur, di mana suhu sering kali melampaui 40 derajat Celsius. Di banyak negara seperti Slovakia, Rumania, dan Kroasia, suhu tinggi berkepanjangan menyebabkan kekeringan yang meluas.
Kroasia mengalami kerugian di sektor pertanian di wilayah timur lautnya. Wilayah itu tidak diguyur hujan selama dua bulan, yang menyebabkan banyak sungai menjadi kering dan hasil panen turun 30 persen hingga 40 persen, menurut perkiraan setempat.
Gelombang panas dan kondisi cuaca ekstrem menyebabkan kegagalan panen jagung, bunga matahari, kedelai, bit gula, apel, dan tanaman lainnya di Austria. Sebuah studi yang dilakukan oleh Barcelona Institute for Global Health memperkirakan bahwa lebih dari 47.000 orang meninggal di seluruh Eropa pada musim panas tahun lalu akibat panas ekstrem, menjadikannya sebagai tahun dengan kasus kematian akibat suhu tinggi terbanyak kedua setelah 2022.
Austrian Hail Insurance, sebuah perusahaan asuransi, memperkirakan pada awal September bahwa kekeringan akan menyebabkan kerugian ekonomi hingga 150 juta euro (1 euro = Rp17.082) atau setara 166 juta dolar AS (1 dolar AS = Rp15.410) pada sektor pertanian Austria tahun ini.
Di Hongaria, lebih dari 390.000 hektare lahan dinyatakan rusak akibat kekeringan per awal September ini, termasuk 235.000 hektare tanaman jagung dan 125.000 hektare tanaman bunga matahari, menurut Menteri Pertanian Hongaria Istvan Nagy, seperti dilaporkan oleh kantor berita Hongaria MTI.
Panas ekstrem juga memicu kebakaran di Portugal, Spanyol, dan Yunani, menghancurkan sejumlah besar area hutan, sementara Kroasia melaporkan peningkatan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebesar 26 persen dibandingkan tahun lalu.
Gelombang panas di Eropa pada musim panas kali ini juga terbukti mematikan. Spanyol mencatat lebih dari 2.000 kasus kematian yang berkaitan dengan cuaca panas pada Juli dan Agustus, dengan warga lanjut usia menghadapi risiko tertinggi, menurut Institut Kesehatan Carlos III (Institute of Health Carlos III). Tren ini terlihat di seluruh Eropa, dengan Kroasia mencatat tambahan 500 kasus kematian yang berkaitan dengan cuaca panas ekstrem.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Barcelona Institute for Global Health memperkirakan bahwa lebih dari 47.000 orang meninggal di seluruh Eropa pada musim panas tahun lalu akibat panas ekstrem, menjadikannya sebagai tahun dengan kasus kematian akibat suhu tinggi terbanyak kedua setelah 2022.
C3S menekankan bahwa rata-rata anomali suhu untuk sisa tahun ini harus turun setidaknya 0,3 derajat Celsius agar tahun 2024 tidak melampaui 2023 sebagai tahun terpanas, meski berdasarkan data historis hal ini kemungkinan besar tidak akan terjadi.
Cuaca ekstrem di Eropa mencerminkan tren pemanasan global yang lebih luas.
Data C3S menunjukkan bahwa Agustus 2024 telah menyamai Agustus 2023 sebagai bulan Agustus terpanas yang tercatat secara global, dengan rata-rata suhu udara permukaan mencapai 16,82 derajat Celsius, 0,71 derajat Celsius di atas rata-rata suhu bulan Agustus dari tahun 1991 hingga 2020.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa bulan Agustus 2024 tercatat 1,51 derajat Celsius lebih hangat dibanding level praindustri (1850-1900), menandai kali ke-13 dalam 14 bulan terakhir rata-rata suhu permukaan global melampaui 1,5 derajat Celsius di atas level praindustri, sebuah ambang batas krusial yang ditetapkan oleh Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Sementara itu, data dari awal tahun berjalan hingga saat ini (year-to-date) menunjukkan bahwa 2024 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan rata-rata suhu global pada Januari hingga Agustus 0,7 derajat Celsius di atas rata-rata untuk periode 1991-2020, angka tertinggi yang tercatat untuk periode ini.
C3S menekankan bahwa rata-rata anomali suhu untuk sisa tahun ini harus turun setidaknya 0,3 derajat Celsius agar tahun 2024 tidak melampaui 2023 sebagai tahun terpanas, meski berdasarkan data historis hal ini kemungkinan besar tidak akan terjadi.
"Dalam tiga bulan terakhir pada 2024, dunia telah mengalami bulan Juni dan Agustus terpanas, hari terpanas yang pernah tercatat, dan musim panas boreal terpanas yang pernah tercatat. Rangkaian rekor suhu ini meningkatkan kemungkinan bahwa 2024 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat," kata Wakil Direktur C3S Samantha Burgess.
Burgess menekankan bahwa berbagai peristiwa ekstrem yang berkaitan dengan suhu yang terlihat pada musim panas kali ini merupakan pertanda bahwa dampak iklim yang lebih parah dan destruktif akan muncul jika tidak ada tindakan mendesak yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Redaktur : Marcellus Widiarto
Komentar
()Muat lainnya