Ekonomi Biru Mesin Pertumbuhan Baru Asean
ASEAN BLUE ECONOMY FORUM 2023 I Kepala Bappenas Suharso Monoarfa yang hadir secara virtual dalam acara ASEAN Blue Economy Forum 2023 di Tanjung Pandan, Kepulauan Bangka Belitung, Senin (3/7).
Foto: ANTARA/M BAQIR IDRUS ALATASJAKARTA - Ekonomi biru (blue energy) diyakini sebagai potensi mesin pertumbuhan baru negara-negara Asia Tenggara (Asean). Sebab, potensi lautnya sangat besar dan akan menyerap banyak tenaga kerja.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa, dalam Asean Blue Economy Forum 2023 di Tanjung Pandan, Provinsi Bangka Belitung, Senin (3/7), mengatakan Asean membutuhkan mesin pertumbuhan baru untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Menurut Suharso, ekonomi sebagian negara anggota Asean masih berstatus negara berpendapatan menengah ke bawah. Pada 2021, ada lima negara yang berpenghasilan menengah ke bawah, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, dan Vietnam. Tiga negara tergolong berpenghasilan menengah ke atas, yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang masih terjebak status pendapatan menengah selama 13 tahun.
"Hanya Brunei Darussalam dan Singapura yang berstatus berpenghasilan tinggi. Oleh karena itu, transisi ke ekonomi biru memberikan peluang untuk mendorong pertumbuhan PDB sambil mendukung pencapaian berbagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Asean," katanya.
Indonesia, katanya, berkomitmen mewujudkan kerangka ekonomi biru Asean karena lautan di kawasan itu menyumbangkan 2,5 persen dari permukaan seluruh lautan. Di dalam kawasan Asean sendiri, lautan (water area) mencakup 66 persen dari total luas keseluruhan.
Perairan di Asia Tenggara juga menyumbang 15 persen dari perikanan global dan ada 625 juta orang yang bekerja di sektor terkait kelautan. "OECD memperkirakan nilai tambah output ekonomi laut global akan berlipat ganda dalam 20 tahun, yaitu dari 1,5 triliun dollar AS pada 2010 menjadi 3,0 triliun dollar AS pada 2030," kata Suharso.
Belum Optimal
Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), Marcellus Hakeng Jayawibawa, mengatakan lautan di Indonesia sendiri belum sepenuhnya dikelola secara optimal, termasuk pemanfaatan hasil perikanan tangkap. "Hal ini disebabkan keterbatasan sumber daya manusia dalam sektor maritim, baik sebagai praktisi maupun peneliti. Padahal, potensi devisanya sangat besar, sehingga hanya 10 persen yang bisa dimaksimalkan sampai saat ini," kata Marcellus.
Kalau pemerintah lebih fokus memperhatikan pembangunan sektor maritim, Indonesia seharusnya mampu menjadi poros maritim dunia melalui pengembangan ekonomi biru yang berbasis pada sumber daya laut.
Laut, tambahnya, bisa menjadi solusi berbagai persoalan bangsa Indonesia, seperti pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran, termasuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat.
Berita Trending
- 1 Thailand Ingin Kereta Cepat ke Tiongkok Beroperasi pada 2030
- 2 Menko Zulkifli Tegaskan Impor Singkong dan Tapioka Akan Dibatasi
- 3 Peneliti Korsel Temukan Fenomena Mekanika Kuantum
- 4 Incar Kemenangan Penting, MU Butuh Konsistensi
- 5 Kepercayaan Masyarakat Dapat Turun, 8 Koperasi Bermasalah Timbulkan Kerugian Besar Rp26 Triliun
Berita Terkini
- Mulai 1 Februari, KA Parahyangan Gantikan Argo Parahiyangan, Ini Jadwal Keberangkatannya
- Trump Berlakukan Tarif Impor Kanada, Meksiko, dan Tiongkok pada 1 Februari
- Ini Tanggapan KPK Soal Laporan Abraham Samad terkait Pagar Laut Tangerang
- Abraham Samad Laporkan Dugaan Korupsi Pagar Laut ke KPK, Bidik Agung Sedayu?
- Montpellier Masih di Zona Degradasi Liga Prancis Ligue 1