Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Teknologi CCS

Diragukan Bisa Mempercepat Transisi Energi

Foto : ISTIMEWA

menuju net zero emission

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah telah menerbitkan aturan penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS). Aturan yang tertuang dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon itu memiliki peranan penting dalam mereduksi emisi karbon dalam rangka menuju net zero emission tahun 2060 atau lebih cepat.

Indonesia dinilai mempunyai potensi besar sebagai wilayah penyimpanan karbon dan berpotensi menjadi lokasi penangkapan di tingkat nasional dan regional sehingga meningkatkan daya tarik investasi dan menciptakan nilai ekonomi dari proses bisnis penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan karbon.

Carbon Capture and Storage (CCS) adalah teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Menurut laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, teknologi ini terdiri atas pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mempertanyakan peluang ekonomi apa yang bisa diambil Indonesia dari CCS atau Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). "Kalau teknologi carbon capture dan utilization-nya sepertinya harus impor, demikian juga teknologi untuk injeksi/storage harus impor. Manfaat ekonomi Indonesia mungkin menyediakan formasi geologis sebagai penyimpan (storage), itu pun harus ditimbang risikonya," katanya di Jakarta, Senin (8/7).

Fabby mengaku ragu kalau CCS/CCUS bisa mempercepat transisi energi. Teknologi ini akan melanggengkan ketergantungan pada energi fosil dan juga berbiaya mahal.

Pengalaman proyek CCS/ CCUS di banyak negara menunjukkan kalau kinerja teknologi ini di bawah tingkat yang diharapkan dan sangat mahal. Di Indonesia pun CCS untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) layak kalau harga CO2 di atas 100 dollar AS per ton.

Peneliti dari Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan secara ekonomi, biaya CCS cukup besar dan multiplier effect-nya relatif minim. Belum banyak proyek komersial di luar negara maju yang berhasil.

Sampai saat ini sudah ada 16 proyek yang digadang-gadang SKK Migas untuk mengembangkan teknologi CCS dan tahap uji coba proyek baru ditargetkan beroperasi 2030.

"Kalau melihat kaitan CCS dalam pemenuhan tenaga listrik sebenarnya orientasinya hanya pengurangan beban emisi dari sumber PLTU batu bara, namun apakah benar titik operasi pembangkit dan titik storage-nya sinkron?" katanya.

Namun, lanjut Hafidz, yang paling mungkin dikejar saat ini lebih pada carbon utilization, misalnya pemanfaatan kabon dari industri pupuk dan kimia yang memproduksi amonia untuk menjadi bahan baku kimia turunan semisal metanol atau industri lainnya yang berkaitan, bisa juga memanfaatkan karbon dari sisa industri migas untuk proses enhanced oil recovery (EOR) dengan diinjeksi ke sumur yang tidak produktif, tetapi juga perlu kajian teknis untuk memastikan fisibilitasnya.

Sementara itu, ekonom energi UGM, Fahmi Radhi, mengatakan bahwa aturan CCS harus dirancang untuk tidak hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga meningkatkan peluang ekonomi. Dengan memanfaatkan teknologi CCS secara efektif, Indonesia dapat mempercepat transisi energi bersih sambil mendorong pertumbuhan sektor ketenagalistrikan dan industri lainnya.

"Pemerintah perlu memastikan bahwa regulasi yang ada dapat membuka peluang investasi dan menciptakan lapangan kerja baru dalam proses implementasinya," kata Fahmi.


Redaktur : M. Selamet Susanto
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top