Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jumat, 07 Mar 2025, 00:00 WIB

Deflasi pada Februari Jadi Alarm bagi Pemerintah, Kebijakannya Belum Efektif Ungkit Daya Beli Masyarakat

Kebijakan Pemerintah Belum Efektif Ungkit Daya Beli Masyarakat

Foto: antara

JAKARTA - Kebijakan pemerintah belum mampu mengungkit daya beli khususnya kelas menengah. Indikasi tersebut terlihat dari catatan deflasi pada Februari lalu yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan ini.

Deflasi tahunan ini merupakan pertama kali terjadi sejak Maret 2000. Sebelumnya, deflasi secara bulanan berturut-turut terjadi pada periode Mei-September 2024.

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengingatkan deflasi biasanya menandakan gejala konsumen secara luas tidak bisa mengkonsumsi barang secara wajar atau paling tidak, mereka menunda konsumsinya. Deflasi ini salah satunya disebabkan karena daya beli masyarakat masih melemah.

"Artinya setelah 25 tahun, Indonesia kembali mengalami deflasi tahunan, lembaga eksekutif perlu mendalami situasi ini dan mewaspadainya. Karena rangkaian deflasi ini, terjadi berturut turut dalam beberapa bulan, sama seperti deflasi 0,76 persen pada Januari dan 0,02 persen pada Februari," ujar Anis di Jakarta, Kamis (6/3).

Menurut Politisi Fraksi PKS ini, Purchasing Managers' Index (PMI) kembali naik pada periode Februari menjadi 53,6 dari bulan sebelumnya 51,9. Namun, dari sisi permintaan, menurut catatan BPS, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang jumlah kelas menengah atau setara 17,13 persen. Sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas.

Padahal, pada 2019, tercatat di Indonesia terdapat 57,33 juta orang masuk kelompok kelas ekonomi menengah atau setara 21,45 persen. “Ini jadi indikator daya beli masyarakat yang turun,” ungkapnya.

Anis menyebut Kabinet Merah Putih menanggung warisan dampak makro ekonomi dari pemerintah sebelumnya. “Kementerian terkait saat ini harus cermat mengatasi deflasi yang terjadi terus menerus, penurunan harga yang intens bisa berdampak berkurangnya aktivitas ekonomi, sehingga harga semakin jatuh,” katanya.

Meskipun pihak BPS menyebut deflasi kali ini disebabkan diskon tarif listrik, tetapi Anis tetap mendorong berbagai program pemerintah untuk mengungkit daya beli masyarakat. “Pada Ramadan kali ini, harapannya konsumsi masyarakat meningkat seperti kajian yang diungkap Redseer Strategy Consultants yang memperkirakan total belanja masyarakat Indonesia selama Ramadan 2025 akan mencapai setara1.188 triliun rupiah. Pemerintah harus memastikan diskon tarif transportasi, juga THR para pekerja termasuk ojol, sehingga mendorong permintaan secara keseluruhan dalam perekonomian,” pungkasnya.

Situasi Aneh

Pengamat Ekonomi Salamuddin Daeng menuturkan, tidak seperti bulan puasa sebelumnya yang selalu ditandai gejolak inflasi, jelang Ramadan kali ini malah terjadi deflasi. Padahal, Ramadan kali ini berdekatan dengan Natal dan Tahun Baru, namun anehnya malah terjadi deflasi.

Menurutnya, deflasi disebabkan beberapa hal, seperti barang banyak namun permintaan rendah. "Bahasa sederhananya, barang banyak atau tetap, tapi uang di kantong masyarakat makin tipis," ujarnya.

Seperti dikatahui, data BPS menunjukkan pada Februari 2025 perekonomian Indonesia mengalami deflasi 0,48 persen. BPS mencatat deflasi tersebut disebabkan penurunan harga sejumlah komoditas pangan, seperti beras, daging ayam ras, bawang merah, cabai merah, dan tomat.

"Keadaan ini mesti diwaspadai oleh Kementerian dan Lembaga karena deflasi pada Februari 2025 menandai pelemahan ekonomi Indonesia sejak 2024, yang ditandai oleh deflasi selama 5 bulan berturut turut sepanjang 2024. Hingga januari 2025 keadaan ekonomi Indonesia ternyata belum membaik, karena pada Januari 2025 inflasi Indonesia terendah dalam 24 tahun terakhir sejak 2000," tegas Daeng.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.