Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Peraih Emas Paralimpiade Tokyo 2020, Leani Ratri Oktila

Berterima Kasih, Telah Rasakan Kesetaraan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Karena saya tahu, keluarga saya itu penuh kasih mereka takut saya minder. Saya waktu itu tidak berniat main dan bertanding meski tawaran sudah banyak. "Ayolah segera main" minta pengurus-pengurus yang di Riau. Saat saya main, adik-adik saya semuanya datang, ramai, karena saya 10 bersaudara. Pas main, saya lihat adik-adik di tribun. Saya pikir mereka mendukung, tapi ternyata mereka bilang malu melihat saya main lagi. Waktu itu mereka belum paham, bukan hanya mereka, kebanyakan di Indonesia untuk atlet difabel dipandang sebelah mata padahal prestasinya sama. Terus saya bilang ke mereka, bedanya saya apa, kan sama-sama manusia. Pertama kali turun, saya sudah dapat satu emas dan satu perak. Saya bawa medali itu ke rumah, di situ saya meyakinkan Bapak, ini dunia saya, saya nyaman di sini. Bapak saya melihat medali itu nggak ngomong, tapi medali pertama saya di difabel itu langsung dipajang dekat fotonya dia. Tapi dari ibu, saya dengar bapak ngomong, dalam kondisi begini saja dia masih bisa ngasih kita medali.

Apakah ada perbedaan bermain sebagai atlet difabel?

Tidak ada perbedaan, semuanya sama, dari target, latihan dari pertandingan. Yang saya salut dari mereka itu, saya juga ikut porprov, porseni saat masih normal, di pelatnas difabel ini saya merasakan tingkat difabel berbeda-beda, ada yang dari bawaan lahir dan kecelakaan seperti saya. Dari semua keterbatasan itu, latihan mereka selalu semangat. Saya juga bersemangat melebihi saat masih normal.

Siapa sosok yang berpengaruh terhadap pencapaian hingga saat ini?

Bapak saya, karena saya tidak ingin melihatnya kecewa. Mungkin kebanyakan anak perempaun dekat sama Ibunya, tapi saya yang paling saya kagumi Bapak saya. Beliau orangnya keras, dari kecil saya sudah dididik dengan keras dan disiplin. Saya pertama kali melihat air mata Bapak waktu saya kecelakaan. Dari situlah, bagaimana caranya bisa membuat Bapak bangga. Tapi waktu itu bukan sebagai atlet, tapi saat wisuda nanti. Itu yang membuat saya bertekad membuat beliau tidak pernah bersedih lagi. Apalagi Bapak itu merasa sangat tertekan ketika melihat saya patah, padahal lebih tertekan lagi saat melihat Bapak menangis. Orang yang kuat seperti itu, menangis melihat kondisi saya, padahal hati saya tidak serapuh itu waktu itu. Saya merasa saat itu mengecewakan beliau, saya ingin meyakinkan beliau bahwa saya tidak apa-apa.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Sriyono
Penulis : Benny Mudesta Putra

Komentar

Komentar
()

Top