Berterima Kasih, Telah Rasakan Kesetaraan
Foto: istimewaLeani Ratri Oktila mengharumkan nama Indonesia di Paralimpiade 2020. Dia sukses meraih dua medali emas dan satu medali perak dalam ajang multievent atlet difabel yang digelar di Tokyo, Jepang , pada 24 Agustus hingga 5 September lalu.
Medali emas pertama berhasil diraih Leani bersama dengan pasangannya, Sadiyah Khalimatus, dalam ganda putri bulu tangkis SL4. Leani kemudian tampil kembali di partai tunggal putri dan harus puas dengan medali perak. Namun di nomor ganda campuran bersama Hary Susanto, Leani sukses mempersembahkan medali emas kedua bagi Indonesia di Paralimpiade 2020. Bagaimana kisahnya sebagai atlet difabel dan apa saja harapan Leani, berikut petikan wawancara wartawan Koran Jakarta, Beni Mudesta, dengan Leani dalam beberapa kesempatan.
Selamat untuk kesuksesan di Paralimpiade Tokyo 2020. Apakah hasil yang dicapai memuaskan?
Terima kasih. Sebenarnya target pribadi saya masih kurang. Target tiga emas. Tapi hasil ini, saya sudah sangat bersyukur. Di masa pemerintah sekarang ini, semua teman-teman pelatnas semangat, kita sudah disetarakan dan tidak dibedakan. Sebelumnya, jujur saya sempat iri, dan kali ini sangat terima kasih kepada pemerintah. Semoga kami bisa menginspirasi bagi masyarakat.
Kemenpora dan NPC sangat berperan penting dalam kesuksesan kami. Kemudian, di lapangan, pasangan saya juga sangat mengerti. Terima kasih pemerintah. Selama menjadi atlet, saya benar-benar merasakan kali ini kesetaraan atlet Paralimpiade dan Olimpide. Karena itu, kami semua sangat bersemangat.
Saya mencoba menampilkan yang terbaik. Ke depan belum berpikir soal target, saya hanya ingin istirahat sejenak. Usai menang, saya ditelepon Pak Jokowi. Saya mengucapkan terima kasih karena sangat peduli kepada kami (atlet disabilitas). Dan selama pemerintahan Pak Jokowi, atlet difabel merasa disetarakan.
Berbicara tentang bulu tangkis, bagaimana awal karier Anda?
Saya berawal dari latihan di desa, di Kabupaten Kampar, Riau, sejak umur tujuh tahun. Sejak SD-SMP, saya bergabung di klub Angkasa badminton. Jadi yang paling berjuang itu orang tua saya. Kami tetap bisa latihan di lapangan terbuka yang hanya sendiri. Gimana Papa saya itu nyari kok-kok bekas di GOR-GOR untuk kami bisa latihan.
Bagaimana awal karier menjadi seorang atlet para-badminton?
Dahulu, saya mengawalinya menjadi atlet normal pada umumnya. Pada suatu ketika, ada musibah menimpa saya sehingga lutut saya tidak bisa normal seperti sediakala, dan di saat waktu yang tepat, saya ditawarin oleh National Paralympic Committee (NPC) Provinsi Riau untuk mengikuti turnamen antarprovinsi dan akhirnya debut saya Peparnas 2012 untuk pertama kalinya. Awalnya juga orang tua tidak mengizinkan, tapi namanya juga tekad untuk ingin berprestasi, pokoknya nekat aja sampai sekarang ini.
Boleh tahu cerita detilnya?
Tahun 2010, saya mengalami kecelakaan ditabrak mobil tentara, terseret di aspal patah kaki kiri dan tangan kanan. Awalnya kaki saya berbeda 1,5 cm, karena saya berjalan terus lama-lama semakin panjang perbedaannya, terakhir diukur sudah 11 cm. Selama tiga bulan, saya hanya bisa tidur dan duduk karena tangan juga patah dan gips. Selama tiga bulan itu, saya memang hanya di kasur, tidak ke mana-mana. Pas ketika kecelakaan itu, saya merasakan ini rasanya istirahat, karena saya tidak pernah istirahat di rumah waktu itu.
Pertama kali apa yang dirasakan ketika kembali menjadi atlet, tapi atlet difable?
Terharu dan sedih. Penolakan dari keluarga juga ada, "Ratri nggak main lagi kata Bapak, itu raketnya sudah saya gantung, biar saja dia istirahat, fokus kuliah". Waktu itu saya bohong lagi, saya bilang ke Bapak saya akan kuliah, tapi datang ke gedung itu dan ikut bertanding.
Motivasi apa yang membuat sangat ingin kembali bermain?
Karena saya tahu, keluarga saya itu penuh kasih mereka takut saya minder. Saya waktu itu tidak berniat main dan bertanding meski tawaran sudah banyak. "Ayolah segera main" minta pengurus-pengurus yang di Riau. Saat saya main, adik-adik saya semuanya datang, ramai, karena saya 10 bersaudara. Pas main, saya lihat adik-adik di tribun. Saya pikir mereka mendukung, tapi ternyata mereka bilang malu melihat saya main lagi. Waktu itu mereka belum paham, bukan hanya mereka, kebanyakan di Indonesia untuk atlet difabel dipandang sebelah mata padahal prestasinya sama. Terus saya bilang ke mereka, bedanya saya apa, kan sama-sama manusia. Pertama kali turun, saya sudah dapat satu emas dan satu perak. Saya bawa medali itu ke rumah, di situ saya meyakinkan Bapak, ini dunia saya, saya nyaman di sini. Bapak saya melihat medali itu nggak ngomong, tapi medali pertama saya di difabel itu langsung dipajang dekat fotonya dia. Tapi dari ibu, saya dengar bapak ngomong, dalam kondisi begini saja dia masih bisa ngasih kita medali.
Apakah ada perbedaan bermain sebagai atlet difabel?
Tidak ada perbedaan, semuanya sama, dari target, latihan dari pertandingan. Yang saya salut dari mereka itu, saya juga ikut porprov, porseni saat masih normal, di pelatnas difabel ini saya merasakan tingkat difabel berbeda-beda, ada yang dari bawaan lahir dan kecelakaan seperti saya. Dari semua keterbatasan itu, latihan mereka selalu semangat. Saya juga bersemangat melebihi saat masih normal.
Siapa sosok yang berpengaruh terhadap pencapaian hingga saat ini?
Bapak saya, karena saya tidak ingin melihatnya kecewa. Mungkin kebanyakan anak perempaun dekat sama Ibunya, tapi saya yang paling saya kagumi Bapak saya. Beliau orangnya keras, dari kecil saya sudah dididik dengan keras dan disiplin. Saya pertama kali melihat air mata Bapak waktu saya kecelakaan. Dari situlah, bagaimana caranya bisa membuat Bapak bangga. Tapi waktu itu bukan sebagai atlet, tapi saat wisuda nanti. Itu yang membuat saya bertekad membuat beliau tidak pernah bersedih lagi. Apalagi Bapak itu merasa sangat tertekan ketika melihat saya patah, padahal lebih tertekan lagi saat melihat Bapak menangis. Orang yang kuat seperti itu, menangis melihat kondisi saya, padahal hati saya tidak serapuh itu waktu itu. Saya merasa saat itu mengecewakan beliau, saya ingin meyakinkan beliau bahwa saya tidak apa-apa.
Kapan pernah merasakan titik terendah dalam hidup?
Ketika saya kecelakaan mungkin saat itu merasakan titik terendah. Tapi setelah menjadi atlet lagi, itu saya rasakan di Asian Paragames 2018. Saat itu saya berlatih sangat keras, bangun duluan dari teman-teman. Saya berangkat sebelum mereka bangun dan pulang setelah mereka tidur. Itu yang saya lakukan selama setahun dengan target yang saya tuju, tiga emas. Untuk mix saya yakin, untuk double yakin, yang berat di single. Apalagi saat itu berlangsung di Indonesia, saya ingin menunjukkan kemampuan saya, tapi ternyata saya kalah di single. Saat itulah saya merasa terpuruk. Saya kalah saat itu karena grogi. Saya merasa tertekan.
Bagaimana cara menjaga performa agar terus berprestasi?
Saya sering mendapat penghargaan barengan dengan atlet normal, seperti Kevin, Greysia. Mereka bilang, kamu itu main tiga nomor, kalah di satu nomor terpuruk. Kami saja main di satu nomor belum tentu menang. Itu yang memotivasi saya. Di difabel ini, saya menjaga perfoma saya dengan tidak peduli pada omongan orang lain. Saat saya capek, saya isi dengan cara saya sendiri. Kalau di pertandingan saya merasa lebih ke mental dibanding fisik. Kalau di latihan jauh lebih keras secara fisik daripada di pertandingan.
Kembali kepada kondisi saat awal bermain dengan kondisi lutut tidak normal, bagaimana beradaptasi dengan itu?
Pastinya rasa sakit. Badminton kan pas main pergerakan harus lincah untuk mengejar shuttle cock. Berlari ke sana ke mari, maju mundur, pasti beban di lutut terasa banget kan. Tapi, lama-kelamaan juga saya terbiasa sampai sekarang ini.
Sejak Asean Para Games Singapore 2015 sampai sekarang terkadang sering berganti partner dan main tiga sektor sekaligus, apakah berpengaruh juga pada saat di lapangan?
Dahulu sempat berpartner sama Fredy Setiawan dan pada akhirnya sekarang sudah tetap sama Mas Harry Susanto di sektor ganda campuran. Terkadang juga kalau partner saya tidak hadir seperti kemarin di Dubai, Khalimatus Sadiyah Sukohandoko berhalangan disebabkan mengikuti UNAS, ya terpaksa saya mencari partner dari negara lain dan akhirnya ada atlet dari Prancis, Faustine Noel bersedia. Seperti halnya Mas Fredy kan juga sama di sektor ganda campuran juga sama atlet dari Skotlandia, Mary Margaret Wilson, dan di ganda putranya sama Kumar Nitesh dari India. Kalau main di tiga sektor memang capek banget apalagi dari pertandingan satu ke yang lain istirahat cuma 20-30 menit habis itu main lagi. Bagi kami, badminton adalah sudah pekerjaan. Tetap membawa nama Indonesia di luar negeri.
Ada Hary Susanto yang bermain bersama apalagi sekarang rank 1 dunia di sektor Standing Lower 3 (SL3)-Standing Upper 5 (SU5), pandangan terhadap beliau yang bagaimana?
Kalau bagi saya pribadi, Hary itu sosok yang sangat gigih, pantang menyerah, dan dibikin nyaman berpartner sama dia.
Kalau dari suami?
Orangnya selalu support kepada saya di mana pun saya mengikuti turnamen berada.
Ada pembicaraan mengenai price money untuk turnamen para-badminton. Apakah ada seperti atlet normal pada umumnya?
Jujur saja sih, tidak ada untuk itu. Berharap ada price money sih seperti atlet normal pada umumnya seperti Kevin/Gideon yang kemarin juara All England yang mendapatkan lumayan besar apalagi juga dapat bonus kan. Kami sebagai atlet untuk berangkat mengikuti turnamen rutin dari BWF aja dari NPC dan sebagian dana sendiri. Saya sempat mengirim sebuah pesan kepada pihak BWF mengenai ini dan merespons bahwa memang tidak ada untuk price money untuk atlet para-badminton. Cukup disayangkan sekali dan berharap kalau ada price money bisa menutupi biaya pulang pergi kami dan sedikit ada uang saku buat kami.
Banyak orang yang membicarakan masalah bonus yang diangkat jadi PNS. Bagaimana kabarnya?
Alhamdulillah, saya bersama kawan-kawan yang meraih emas di Asean Para Games 2017 diundang diangkat menjadi PNS bersama Ni Nengah Widiasih (Para Powerlifting), Doni Yulianto (Para Athletic), dan lain-lain, dan kami disamakan dengan atlet-atlet normal lainnya. Ada polemik mengenai ini semacam kayak Mas Ukun dan Fredy kan mendapatkan prestasi di Incheon 2014 maupun Singapore 2015 (meskipun gagal di Kuala Lumpur 2017) kok tidak mendapatkan jaminan PNS dan saya pun sempat bertanya ke Pak Gatot Dewabroto selaku Kemenpora mengenai hal ini. Pak Gatot pun berkilah bahwa yang mendapat jaminan PNS ini hanya yang mendapatkan medali emas di ajang Asean Para Games 2017. Melihat hal semacam ini sedih memang, tapi ya mau gimana lagi dan saya tetap menyemangati kawan-kawan semua. Mudah-mudahan perjuangan saya selama ini juga dihargai.
Apa yang ingin disampaikan kepada seluruh masyarakat Indonesia?
Hal yang ingin terus saya harapkan adalah support dan dukungan untuk atlet difabel sama seperti atlet normal karena perjuangan sama, kerja keras sama, target sama, dan mengharumkan nama Indonesia. Bahkan atlet difabel harus berjuang dengan keterbatasan. Untuk pemerintah, saya sangat berterima kasih karena saya merasakan sebagai atlet sudah lebih dari cukup.
Tantangan sebagai atlet, semua orang pasti merasakan capek, jenuh, nggak mungkin semangat terus. Saya menyibukkan diri agar tidak jenuh. Saya juga sangat bersyukur dengan hasil yang saya raih bisa berbagi dengan orang lain. Di kampung, saya membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, membantu masyarakat di sana.
Riwayat Hidup*
Nama: Leani Ratri Oktila
Tempat, tanggal lahir: Kampar, Riau, 6 Mei 1991
Pendidikan:
- S1 Pendidikan Jasmani, Kesehatan & Rekreasi di Universitas Negeri Padang
- S2 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Veteran Bangun Nusantara
Karier: Atlet Parabadminton
Pelatih: Jarot Hernowo, Yunita Ambar Wulandari, Nurrachman.
Prestasi:
- 1 medali emas dan perak di Pekan Paralimpiade Nasional (2012)
- 3 medali emas di Kejuaraan Dunia BWF (2017 dan 2019)
- 6 medali emas di Asian Games (2015, 2017 dan 2018)
- 7 medali emas dan 2 perak di Indonesia Para-Badminton International (2014-2016)
- 5 emas di Thailand Para-Badminton International (2017-2018)
- 3 emas dan satu perak Australia Para-Badminton International (2018)
- 5 emas dan 3 perak Dubai Para-Badminton International (2019)
- 6 emas di Canada Para-Badminton International (2019)
- 2 emas dan 1 perak di Brazil Para-Badminton International (2020)
- 2 medali emas dan 1 perak di Paralympic Tokyo (2021)
*BERBAGAI SUMBER/LITBANG KORAN JAKARTA/AND
Redaktur: Sriyono
Penulis: Benny Mudesta Putra
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 2 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 3 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 4 Sabtu, Harga Pangan Mayoritas Turun, Daging Sapi Rp131.990 per Kg
- 5 Desa-desa di Indonesia Diminta Kembangkan Potensi Lokal