![Bersatu Lindungi Korban Pelecehan Seksual](https://koran-jakarta.com/images/article/phpplxagx_resized.jpg)
Bersatu Lindungi Korban Pelecehan Seksual
![Bersatu Lindungi Korban Pelecehan Seksual](https://koran-jakarta.com/images/article/phpplxagx_resized.jpg)
Faktor Rasa Superior Pembawa Petaka
Pelecehan seksual selalu meninggalkan rasa geram, sakit hati bahkan sampai bunuh diri. Pelecehan yang terjadi dari masa ke masa seolah tidak pernah usai. Lalu mengapa pelecehan bisa terjadi? Ada penilaian bahwa rasa superior menjadi pemicu terjadinya pelecehan seksual. Kebutuhan pengakuan diri yang tidak terakomodir secara positif memunculkan para predator-predator pelecehan seksual di masyarakat. Mereka ingin menampakkan superiornya dihadapan kelompok. Hal tersebut masih ditambah dengan, budaya patriarki yang terlalu melekat di masyarakat.
"Pelaku kekerasan melakukan atas dasar solidaritas kelompok maupun geng, jadi mereka ingin melakukan karena mereka ingin direspek oleh anggota itu atau mereka ingin kelihatan superior," ujar Olin Monteiro, pengurus Jakarta Feminist Discussion Group, sebuah komunitas yang memperjuangkan hak perempuan dan kelompok marginal. Dalam kajian feminism disebutkan ada beberapa fakta yang menyebabkan pelecehan seksual.
Fakta-fakta tersebut melingkupi otoritas maupun otonomi. Unsur-unsur yang terlanjur melekat dan dianggap biasa oleh masyarakat. Otoritas diterjemahkan sebagai perilaku yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Olin mengatakan kondisi tersebut bisa dimaklumi mengingat budaya patriarki erat kaitannya dengan maskulinitas. Dalam pelecehan seksual, patriarki bersifat sangat toksik atau beracun. Mereka melakukan perbuatan tersebut sebagai exercise. "Sebagai kekuatan dia dari korban yang dianggap lemah," ujar dia. Sedangkan dalam masyarakat sendiri, perempuan masih dipandang sekedar objek.
Mereka dihargai karena badannya, kecantikannya maupun penampilannya. "Bahwa itu adalah hal yang biasa di masyarakat untuk mengobjektifkan perempuan," tambah dia. Terkait dengan otonomi, Olin mengatakan perempuan Indonesia masih memilih masalah dengan otonomi tubuhnya. Umumnya, perempuan masih melihat pandangan orang lain tentang tubuhnya. "Tubuh perempuan masih ditentukan oleh konstruksi sosial," ujar dia.
Halaman Selanjutnya....
Komentar
()Muat lainnya