Benahi Aturan yang Hambat PLTS Atap
KONTRIBUSI EBT - Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di pulau wisata Gili Trawangan, Kecamatan Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB, beberapa waktu lalu. Menurut data PLN NTB saat ini kontribusi energi baru terbarukan di NTB sekitar 3,46 persen dari total energi produksi pembangkit yang dari jumlah tersebut tenaga surya berkontribusi sebesar 1,69 persen, air sebesar 1,43 persen dan biomassa sebesar 0,34 persen.
Foto: ANTARA/AHMAD SUBAIDIJAKARTA - Pemerintah perlu memperbaiki aturan yang menghambat pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap jika ingin menggenjot investasi di sektor Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Sebab, investasi EBT di Tanah Air tahun lalu turun atau bertolak belakang dengan tren penanaman modal di sektor EBT glibal yang meningkat.
Anggota Komisi VII DPR RI, Andi Yuliana Paris, menyebut penggunaan PLTS Atap yang dilakukan industri minuman memberikan efisiensi hingga mencapai 30 persen dari kebutuhan energi, di samping juga rendah karbon. Meski demikian, dirinya berharap pemerintah dapat memperbaiki birokrasi terkait pemasangan PLTS di lingkungan industri ini di masa mendatang.
"Nah, tentunya memang ada keluhan bahwa regulasi terkait dengan PLTS atap ini (karena) banyak rentang waktu dan birokrasi yang harus dilalui. Nah, ini PR (pekerjaan rumah) bagi pemerintah, khususnya pemerintah yang akan datang," ungkap Andi dikutip dari laman resmi DPR RI, Senin (8/7).
Lebih lanjut, dia mengungkapkan pemerintah perlu mempertimbangkan dengan saksama terkait hambatan birokrasi tersebut. Sebab, untuk menerapkan aturan tentu dibutuhkan waktu. Selain itu pun pelaku industri juga berkejaran dalam memberikan profit.
"Menciptakan lapangan pekerjaan dan juga diminta memberikan kontribusi terhadap NDC, National Determined Carbon," lanjut Politisi Fraksi PAN ini.
Adapun Komisi VII DPR RI pekan lalu melakukan kunjungan kerja ke PT Coca-Cola Euro Pacific Partners Indonesia (CCEPI). Kunjungan kerja ini berfokus pada meningkatkan penggunaan energi rendah karbon guna mendukung pencapaian net zero emissions dan meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) melalui serapan bahan baku dan tenaga kerja lokal.
Adapun industri makanandan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor unggulan yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yaitu sebesar 4,7 persen tahun 2023 year on year (yoy). Pada tahun 2024 kontribusi industri makanan dan minuman terhadap Produk Domestik Bruto diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 7 persen.
Keprihatinan Pengusaha
Investasi sektor energi baru dan terbarukan di tanah air (EBT) memang turun. Kondisi ini juga menjadi keprihatinan pelaku usaha. Adapun PLTS Atap merupakan bagian dari EBT.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani, mengatakan arus investasi EBT global pada 2023 naik 8 persen menjadi 623 milliar dollar AS, namun tak berbanding lurus dengan RI.
"Global naik, namun di RI justru turun 9,3 persen," ungkap Shinta pada kesempatan terpisah.
Menurutnya, penurunan III arus investasi tersebut tidak sesuai harapan sebab Indonesia kaya akan sumber energi hijau.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan potensi EBT RI senilai 593-638 triliun rupiah meningkatkan produk domestik bruto (PDB) pada 2030 serta menciptakan lapangan kerja baru 7 hingga 10 kali lipat dibanding investasi konvensional.
Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemutakhiran kebijakan energi dan dekarbonisasi industri demi mencapai target bauran energi terbarukan.
"IESR memandang jika Indonesia hanya bertumpu pada kebijakan saat ini tanpa strategi yang terukur, maka pencapaian target bauran energi terbarukan akan lambat, bahkan Indonesia tidak akan melebihi 30 persen pada 2060," kata Koordinator Grup Riset Sumber Daya Energi dan Listrik IESR His Muhammad Bintang, beberapa waktu lalu.
IESR memandang Indonesia perlu mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan sebagai strategi penurunan emisi gas rumah kaca untuk mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, demi membatasi kenaikan suhu bumi yang menyebabkan krisis iklim.
IESR menilai untuk mencapai target bauran energi terbarukan dan penurunan emisi sektor energi secara signifikan, pemutakhiran kebijakan seperti Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI