Bank BUMN Paling “Rigid” Turunkan Bunga Kredit
Foto: Sumber: OJK, BI - KJ/ONESJAKARTA - Upaya Bank Indonesia (BI) melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR Rate) untuk mendorong permintaan pembiayaan dari dunia usaha belum optimal. Hal itu terhambat sikap perbankan, khususnya bank-bank BUMN yang sangat rigid (kaku) menurunkan bunga kredit.
Asisten Gubernur BI Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial, Juda Agung, di Jakarta, Senin (22/2), mengatakan sikap perbankan yang sangat rigid mentransmisikan suku bunga kredit itu menyebabkan perekonomian tidak kondusif.
Menurut Juda, otoritas moneter hingga pekan lalu telah menurunkan suku bunga acuan 225 basis poin atau 2,25 persen sejak Juni 2019 ke level 3,5 persen, sedangkan suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan baru 116 basis poin atau 1,16 persen.
Lambannya bank menurunkan suku bunga kredit menyebabkan spread atau selisih suku bunga acuan dengan SBDK makin melebar. Pada Juni 2019, selisihnya 5,27 persen dan pada saat ini melebar menjadi 6,36 persen karena BI7DRR Rate berada di level 3,75 persen sementara SBDK 10,11 persen. "Ini menjadi salah satu faktor orang masih ragu-ragu meminta kredit karena suku bunga masih cukup tinggi," kata Juda.
Di sisi lain, begitu BI menurunkan bunga acuan, bank langsung menurunkan suku bunga deposito. "Kalau suku bunga deposito, sangat responsif, tapi suku bunga kreditnya yang masih rigid," katanya. Dengan melihat kondisi tersebut, bank, jelas Juda, mencoba mendapat keuntungan yang lebih besar di saat kondisi sulit seperti ini.
Kelompok Bank BUMN, tambah Juda, tercatat paling rigid merespons penurunan bunga dengan besaran SBDK paling tinggi yakni 10,79 persen pada Desember 2020 dibandingkan Juni 2019 di level 11,67 persen. Kemudian, Bank Pembangunan Daerah (BPD) dengan SBDK 9,80 persen dibandingkan sebelumnya 10,58 persen. Disusul, bank umum swasta nasional dengan SBDK 9,67 persen dari sebelumnya 10,87 persen. Sedangkan SBDK kantor cabang bank asing dinilai paling responsif dengan SBDK 6,17 persen dari sebelumnya 9,01 persen.
Enggan Salurkan Kredit
Pakar Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan penurunan bunga acuan ke level 3,5 persen sebagai kebijakan moneter ekspansif untuk mendorong investasi sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Kebijakan itu membutuhkan respons transmisi kebijakan yang cepat dari perbankan agar terjadi peningkatan kredit investasi.
Mekanisme transmisi yang terhambat, jelas Suhartoko, bisa disebabkan oleh keengganan bank menyalurkan kredit karena potensi kredit macet meningkat dan memilih ruang substitusi dengan menempatkan likuiditas pada surat berharga, meskipun dengan imbal hasil lebih rendah, namun lebih aman. "Bagi Bank BUMN lebih pada tuntutan meraih laba," kata Suhartoko. n ers/E-9
Berita Trending
- 1 Catat! Ini Daftar Lengkap Harga BBM Pertamina yang Resmi Naik per 1 Januari 2025
- 2 Usut Tuntas, Kejati DKI Berhasil Selamatkan Uang Negara Rp317 Miliar pada 2024
- 3 Kalah di Beberapa Daerah pada Pilkada 2024, Golkar Akan Evaluasi Kinerja Partai
- 4 Antisipasi Penyimpangan, Kemenag dan KPAI Perkuat Kerja Sama Pencegahan Kekerasan Seksual
- 5 Pemkot Surabaya Mengajak UMKM Terlibat dalam Program MBG
Berita Terkini
- 37 Tahun Berdiri, Restoran Indonesia di Hong Kong Bisa Renovasi dari Diaspora Loan BNI
- Film ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’ Menginspirasi Penonton untuk Berbagi Cerita
- Jelang Pelantikan, Trump akan Dijatuhi Hukuman atas Kasus Uang Tutup Mulut
- Penumpang Nataru di Bandara Soetta Tembus 2 Juta
- Khofifah: Hari Braille Sedunia Momen Tingkatkan Hak Sisabilitas Netra