Awal Mula Munculnya Rasisme dan Diskriminasi Warna Kulit
Seorang anak laki-laki mengikuti sebuah aksi protes.
Tanpa disadari, citra "putih" sebagai sesuatu yang "baik" telah lama melekat dalam pikiran manusia.
Luh Ayu Saraswati, profesor di bidang perempuan, gender, dan seksualitas the University of Hawai'i, membedah persepsi "putih" ini hingga jauh ke masa prakolonial di Indonesia.
Ia menelisik kisah Ramayana yang mengasosiasikan putih sebagai warna kebaikan, dengan menggambarkan tokoh Sita (tokoh protagonis dalam cerita tersebut) sebagai perempuan berkulit putih yang cantik bercahaya. Kebalikannya, Rawana (tokoh antagonis) dideskripsikan berkulit gelap dengan pandangan mata menakutkan seperti "ular berbisa yang berbahaya".
Dengan demikian, citra positif "putih" dan citra negatif "hitam" terbentuk secara bersamaan. Citra negatif "hitam" itu adalah hasil hermeneutic blackness, sebuah tahap ketika ke-hitam-an tidak hanya merujuk kepada ciri-ciri fisik, tetapi juga diasosiasikan dengan sesuatu yang buruk dan jahat. Proses ini menghasilkan perasaan negatif terhadap "hitam" yang merasuk ke dalam diri.
Dalam sebuah wawancara pada tahun 1971, petinju kawakan asal Amerika Serikat (AS), Muhammad Ali, mempertanyakan mengapa warna hitam selalu identik dengan hal-hal yang buruk seakan "yang putih itu baik, yang hitam tidak". Ali mencontohkan adanya istilah blackmail untuk pemerasan, anak bebek dianggap buruk rupa karena berwarna hitam, dan kucing hitam dianggap pembawa sial.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : -
Komentar
()Muat lainnya