Ashoka, Raja Bijaksana dari Kekaisaran Maurya
Foto: WikimediaMaurya merupakan merupakan kekaisaran yang membentang dari anak benua India hingga Iran. Salah satu rajanya bernama Ashoka yang memerintah dengan mengedepankan spirit agama Buddha dan dikenal amat bijaksana.
Salah satu raja besar dalam sejarah dunia adalah Ashoka yang Agung, raja ketiga Kekaisaran Maurya. Raja yang memerintah dari tahun 268 hingga 232 sebelum masehi (SM) itu dikenal sebagai raja yang amat bijaksana.
Di dikenal karena penolakannya terhadap perang dan pengembangan konsep dharma (perilaku sosial yang saleh) melalui ajaran agama Buddha. Pemerintahannya yang efektif atas entitas politik yang hampir mencakup seluruh India.
Pada puncak kejayaannya, kekuasaan Kekaisaran Maurya di bawah Ashoka membentang dari Iran modern hingga hampir seluruh anak benua India. Ashoka mampu memerintah kekaisaran yang luas ini awalnya melalui ajaran risalah politik yang dikenal sebagai Arthashastra.
Arthashastra yang dikaitkan dengan Perdana Menteri Chanakya yang juga dikenal sebagai Kautilya dan Vishnu Gupta 350-275 SM. Perdana menteri itu melayani di bawah kakeknya, Chandragupta yang memerintah 321-297 SM, pendiri Kekaisaran Maurya yang berlangsung dari 322 hingga 185 SM.
Nama Ashoka sendiri berarti "tanpa kesedihan". Dalam dekritnya yang diukir di batu, ia disebut sebagai Devanampiya Piyadassi yang menurut sejarawan John Keay dan telah disetujui oleh konsensus ilmiah, berarti "yang dicintai para dewa" dan "bersikap anggun."
Yang aneh pada awal pemerintahannya Ashoka dikenal sangat kejam. Ia melancarkan kampanye melawan Kerajaan Kalinga pada sekitar tahun 260 SM yang mengakibatkan pembantaian, kehancuran, dan kematian. Dari peristiwa tersebut Ashoka meninggalkan cara-cara kekerasan dan beralih ke agama Buddha dalam mengabdikan dirinya untuk perdamaian sebagaimana dicontohkan dalam konsep dharma.
Sebagian besar dari apa yang diketahui tentangnya, berasal dari teks-teks Buddha yang memperlakukannya sebagai model pertobatan dan perilaku berbudi luhur. Sayangnya kekaisaran dikembangkan ia dan pendahulunya tidak lama bahkan hanya 50 tahun setelah kematiannya.
Meskipun ia adalah raja terhebat dari salah satu kekaisaran terbesar dan terkuat di zaman kuno, namanya hilang dari sejarah sebelum diidentifikasi oleh sarjana dan orientalis Inggris James Prinsep pada tahun 1837 M.
Sejak saat itu, Ashoka dikenal sebagai salah satu raja kuno yang paling menarik karena keputusannya untuk meninggalkan perang, kegigihannya pada toleransi beragama, dan upaya damainya dalam membangun agama Buddha sebagai agama utama dunia.
Meskipun nama Ashoka muncul dalam Purana atau sastra ensiklopedis India yang membahas tentang raja, pahlawan, legenda, dan dewa, namun tidak ada informasi tentang hidupnya yang diberikan di sana.
Rincian masa mudanya, naik ke kekuasaan, dan penolakannya terhadap kekerasan setelah kampanye Kalinga berasal dari sumber-sumber Buddha yang dianggap, dalam banyak hal, lebih legendaris daripada historis. Tanggal lahirnya tidak diketahui, dan ia dikatakan sebagai salah satu dari seratus putra istri ayahnya Bindusara (memerintah sekitar 297-273 SM).
Nama ibunya disebutkan sebagai Subhadrangi dalam satu teks tetapi sebagai Dharma dalam teks lain. Ia juga digambarkan sebagai putri seorang Brahmin (kasta tertinggi) dan istri utama Bindusara dalam beberapa teks sementara seorang wanita dengan status lebih rendah dan istri kecil dalam teks lain.
Kisah 100 putra Bindusara ditolak oleh sebagian besar cendekiawan yang percaya Ashoka adalah putra kedua dari empat bersaudara. Kakak laki-lakinya, Susima, adalah pewaris takhta dan putra mahkota. Oleh karenanya, peluang Ashoka untuk menduduki kekuasaan sangat tipis dan terlalu tipis karena ayahnya tidak menyukainya.
Ia berpendidikan tinggi di istana, terlatih dalam seni bela diri, dan tidak diragukan lagi diajar dalam ajaran Arthasastra. Arthasastra adalah risalah yang mencakup banyak subjek berbeda yang berkaitan dengan masyarakat, tetapi, terutama, merupakan manual tentang ilmu politik yang memberi instruksi tentang cara memerintah secara efektif.
Arthasastra dikaitkan dengan Chanakya, perdana menteri Chandragupta, yang memilih dan melatih Chandragupta untuk menjadi raja. Ketika Chandragupta turun takhta demi Bindusara, yang terakhir dikatakan telah dilatih dalam Arthashastra dan hampir dapat dipastikan, juga putra-putranya.
Ketika Ashoka berusia sekitar 18 tahun, ia dikirim dari ibu kota Pataliputra ke Takshashila (Taxila) untuk meredakan pemberontakan. Menurut salah satu legenda, Bindusara menyediakan pasukan bagi putranya tetapi tidak memiliki senjata; senjata-senjata itu disediakan kemudian dengan cara-cara supranatural.
Pertobatan
Legenda yang sama ini mengklaim bahwa Ashoka berbelas kasih kepada orang-orang yang meletakkan senjata mereka saat kedatangannya. Tidak ada catatan sejarah yang tersisa tentang kampanye Ashoka di Taxila dan hal itu diterima sebagai fakta sejarah berdasarkan dugaan dari prasasti dan nama tempat, tetapi rinciannya tidak diketahui.
Setelah berhasil di Taxila, Bindusara selanjutnya mengirim putranya untuk memerintah pusat perdagangan Ujjain, yang juga berhasil ia kuasai. Tidak ada rincian yang tersedia tentang bagaimana Ashoka melaksanakan tugasnya di Ujjain karena, seperti yang dicatat Keay, "Apa yang dianggap paling layak dicatat oleh para penulis sejarah Buddha adalah kisah cintanya dengan putri seorang pedagang lokal," dalam buku berjudul India (2020).
Nama putri ini diberikan sebagai Devi (juga dikenal sebagai Vidisha-mahadevi) dari Kota Vidisha yang menurut beberapa tradisi, memainkan peran penting dalam ketertarikan Ashoka pada agama Buddha.
"Namun, dia melahirkan seorang putra dan seorang putri. Putranya, Mahinda, akan memimpin misi Buddha ke Sri Lanka; dan mungkin ibunya sudah menjadi penganut Buddha, sehingga muncul kemungkinan bahwa Ashoka tertarik pada ajaran Buddha saat itu," tulis Keay.
Menurut beberapa legenda, Devi pertama kali memperkenalkan Ashoka pada agama Buddha. Pendapat lain menyebutkan Ashoka sudah menjadi penganut Buddha nominal ketika dia bertemu Devi dan mungkin telah berbagi ajaran dengannya.
Sebelum menjadi agama, Buddha adalah sekte filsafat-agama kecil di India saat itu, salah satu dari banyak aliran pemikiran heterodoks, bersama dengan Ajivika, Jainisme, dan Charvaka. Kepercayaan ini yang bersaing untuk diterima bersama sistem kepercayaan ortodoks Sanatan Dharma (Tata Kekal), yang lebih dikenal sebagai Hinduisme.
Fokus kronik-kronik selanjutnya pada hubungan Ashoka dengan Devi yang cantik, bukan pada prestasi administratifnya, dapat dijelaskan sebagai upaya untuk menyoroti hubungan awal calon raja dengan agama yang akan dipopulerkannya.
Ashoka masih berada di Ujjain ketika Taxila memberontak lagi dan kali ini Bindusara mengirim Susima. Susima masih terlibat dalam kampanye ketika Bindusara jatuh sakit dan memerintahkan pemanggilan kembali putra sulungnya.
Namun, para menteri raja lebih menyukai Ashoka sebagai penerus sehingga ia diutus dan dimahkotai (atau, menurut beberapa legenda, menobatkan dirinya sendiri) sebagai raja setelah kematian Bindusara. Setelah itu, ia mengeksekusi Susima (atau para menterinya yang melakukannya) dengan melemparkannya ke dalam lubang arang tempat ia dibakar hidup-hidup. hay/I-1
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
Berita Terkini
- Status Pailit Sritex, Berikut Penjelasan BNI
- Arab Saudi: Habis Minyak Bumi, Terbitlah Lithium
- Misi Terbaru Tom Cruise: Sabotase Pasukan Jerman!
- AirNav Pastikan Kelancaran Navigasi Penerbangan Natal dan Tahun Baru 2024/2025
- Sambut Natal 2024, Bank Mandiri Bagikan 2.000 Paket Alat Sekolah hingga Kebutuhan Pokok di Seluruh Indonesia