![](https://koran-jakarta.com/img/site-logo-white.png)
AS dan Inggris Tolak Tandatangani Deklarasi AI di KTT Paris
KTT Aksi AI di Paris, Prancis.
Foto: AntaraJAKARTA - Pemerintah Inggris dan Amerika Serikat menolak menandatangani deklarasi internasional mengenai kecerdasan buatan (AI) yang inklusif dan berkelanjutan pada KTT AI di Paris.
Deklarasi ini diadopsi oleh 61 negara, termasuk Prancis, Tiongkok, India, Jepang, Australia, dan Kanada, dengan tujuan menciptakan ekosistem AI yang lebih adil dan terbuka.
Deklarasi tersebut menyoroti sejumlah prioritas global terkait AI, seperti mengurangi kesenjangan digital, mencegah dominasi pasar oleh segelintir perusahaan besar, serta memastikan pengembangan AI yang etis, aman, dan transparan.
Selain itu, negara-negara yang menandatangani juga berkomitmen untuk meningkatkan kerja sama internasional dan menjadikan teknologi AI lebih berkelanjutan, terutama dalam konteks dampaknya terhadap lingkungan dan pasar tenaga kerja.
Pernyataan bersama dari para pemimpin di KTT ini menegaskan bahwa keberagaman dalam pengembangan AI sangat penting. Mereka menekankan bahwa pendekatan yang terbuka dan inklusif harus berbasis hak asasi manusia, berpusat pada kepentingan manusia, serta tunduk pada hukum internasional, termasuk hukum humaniter dan hak asasi manusia.
Deklarasi ini juga menyoroti perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual, serta kesetaraan gender dan bahasa dalam regulasi AI di masa depan.
Meskipun Inggris dan AS tidak memberikan alasan spesifik atas penolakan mereka, juru bicara Perdana Menteri Keir Starmer menyatakan Inggris hanya akan mendukung inisiatif yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya.
Sementara itu, wakil presiden AS JD Vance mengungkapkan kekhawatiran bahwa regulasi yang terlalu ketat dapat menghambat perkembangan industri AI.
"Kita memerlukan rezim regulasi internasional yang mendorong terciptanya teknologi AI alih-alih menghambatnya," ujar Vance.
Vance juga menentang kerja sama dengan Tiongkok serta regulasi yang dianggap dapat mengancam kepentingan perusahaan teknologi AS. Ia menegaskan bahwa AI seharusnya tetap bebas dari bias ideologis dan tidak boleh digunakan sebagai alat penyensoran otoriter.
"Amerika tidak dapat dan tidak akan menerima hal itu, dan kami pikir itu adalah kesalahan besar, tidak hanya bagi Amerika Serikat, tetapi juga bagi negara Anda sendiri," tambahnya.
Keputusan Inggris dan AS ini mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk Full Fact, lembaga pemeriksa fakta independen, yang memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat merusak kredibilitas Inggris dalam kepemimpinan global terkait AI yang aman dan etis.
"Kita memerlukan tindakan pemerintah yang lebih berani untuk melindungi masyarakat dari misinformasi yang dihasilkan AI," kata Andrew Dudfield, kepala AI di Full Fact.
Sementara itu, pakar AI Adam Leon Smith mengatakan negara-negara kaya harus menyeimbangkan inovasi AI dengan keamanan, tanpa terjebak dalam konflik geopolitik yang dapat menghambat kerja sama internasional.
Berita Trending
- 1 Masih Jadi Misteri Besar, Kementerian Kebudayaan Dorong Riset Situs Gunung Padang di Cianjur
- 2 Ada Efisiensi Anggaran, BKPM Tetap Lakukan Promosi Investasi di IKN
- 3 Cap Go Meh representasi nilai kebudayaan yang beragam di Bengkayang
- 4 Regulasi Pasti, Investasi Bersemi! Apindo Desak Langkah Konkret Pemerintah
- 5 Program KPBU dan Investasi Terus Berjalan Bangun Kota Nusantara
Berita Terkini
-
600 Peserta Ikuti Program Pencetakan Talenta di Bidang AI
-
Kesehatan Mental Ibu Bisa Picu Anak Stunting
-
SEAMEO RECFON Rilis Hasil Temuan Awal Studi AASH
-
Binus Ubah Program Ilmu Communication Menjadi Creative Digital Communication
-
Tertinggi di Indonesia, Pertamina Peringkat ke-32 Daftar 500 Perusahaan Terbaik di Asia Pasifik versi Majalah TIME