Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 01 Nov 2023, 01:47 WIB

Ancaman Kekeringan dan Kekurangan Air Semakin Nyata

Musim Panas 2023 Pecahkan Rekor Suhu Terpanas - Menurut catatan NASA musim panas tahun ini lebih hangat 1,2 derajat Celcius dibanding suhu rata-rata musim panas antara 1951 dan 1980.

Foto: KORAN JAKARTA / ONES, GISS Surface Temperature Ana

JAKARTA - Pemerintah dalam World Hydropower Congress yang berlangsung di Bali menyerukan perlunya mempercepat transisi energi dengan beralih ke energi hijau yang berkelanjutan guna menghindari kenaikan suhu bumi. Hal itu juga menyikapi perubahan iklim yang telah menimbulkan banyak bencana yang merugikan populasi dunia.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri bahkan menyebutkan kalau bumi saat ini bukan lagi mengalami global warming, tapi sudah masuk ke global boiling.

PBB menyebutkan, kenaikan suhu bumi jika dibiarkan mencapai lebih dari 1,5 derajat Celsius, diprediksi akan mengakibatkan 210 juta orang mengalami kekurangan air, 14 persen populasi akan terpapar gelombang panas, dan 297 juta rumah akan terendam banjir pesisir, serta 600 juta orang akan mengalami malnutrisi akibat gagal panen.

Fenomena itu menjadi ancaman nyata bagi semua kalangan di berbagai belahan dunia yang membutuhkan kerja kolaboratif. Sebab itu, Indonesia harus memacu transisi energi dengan menambah skala energi baru terbarukan. Apalagi, Indonesia kaya akan potensi energi hijau. Berdasarkan kalkulasi, RI diperkirakan memiliki potensi hingga 3.600 gigawatt, baik dari matahari, angin, dari panas bumi, dari arus laut dari ombak, dari bioenergi dan juga hydropower.

Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, yang diminta pendapatnya mengatakan dampak perubahan iklim global cukup nyata dan semakin serius, dengan tingkat emisi global saat ini jika dibiarkan kemungkinan terjadi kenaikan suhu global bisa mencapai lebih dari 2 derajat Celsius.

Dari kenaikan suhu bumi itu, ancaman terhadap kekeringan dan kekurangan sumber air semakin nyata. Selain air, juga akan mengancam pasokan pangan dan berdampak pada kesehatan manusia.

Sebagai gambaran, kata Hafidz, dampak El Nino tahun ini sudah menaikkan suhu 0,9 derajat Celsius di sebagian area Samudera Pasifik, namun sudah menyebabkan cuaca ekstrem di hampir seluruh area ekuator (Asia, Afrika, dan Amerika Latin) selama hampir empat bulan.

"Di situlah pentingnya kerja sama global dan komitmen seluruh negara, yang serius menekan emisi dengan skema net zero emission (NZE) sesuai The Paris Agreement, agar pada 2030 nanti suhu global bisa tetap ditahan di bawah 1,5 derajat Celsius," kata Hafidz.

Apalagi Indonesia, terangnya, menargetkan penurunan emisi 41 persen, atau 140 juta ton CO2 pada 2030 dan baru ditargetkan mencapai NZE pada 2040. Pekerjaan rumah (PR) paling serius terutama pada aspek transisi energi dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan, yang berkontribusi paling besar dalam menyumbang emisi.

Kalau dibiarkan, perubahan suhu global di atas 1,5 derajat Celsius tidak hanya akan membuat hilangnya sebagian lapisan es di Antartika, tapi juga melahirkan instabilitas iklim dengan perubahan cuaca ekstrem, dan berakibat serius pada sektor pertanian dan perikanan, yang secara serius akan berdampak pada ketahanan pangan global.

"Juga akan menyebabkan munculnya risiko-risiko lain, seperti tenggelamnya pulau-pulau kecil dan juga risiko epidemi dengan terjadinya mutasi genetis mikroorganisme yang dapat menyebabkan dampak pada kesehatan, dan sebagainya," paparnya.

Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa penanganan iklim butuh komitmen serius dan melibatkan multistakeholder dari level terkecil di komunitas hingga pemerintah pusat dan relasi global.

Kematian Meningkat

Sementara itu, sebuah penelitian baru yang didukung oleh Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat (AS) yang dipublikasikan Senin (30/10) waktu setempat menunjukkan kematian terkait kardiovaskular (gagal jantung) di negara adidaya itu diperkirakan akan meningkat antara 2036 hingga 2065 akibat panas ekstrem.

Studi yang dikutip dari Antara itu memperkirakan bahwa orang dewasa berusia 65 tahun ke atas serta orang dewasa berkulit hitam kemungkinan akan paling terdampak secara tidak proporsional.

Meski panas ekstrem saat ini menyumbang kurang dari 1 persen kematian terkait kardiovaskular, analisis pemodelan memperkirakan hal itu akan berubah karena kenaikan suhu pada hari-hari musim panas diproyeksikan akan mencapai setidaknya 90 derajat Fahrenheit atau 32,2 derajat Celsius.

Warga berusia lanjut dan orang dewasa berkulit hitam akan menjadi kelompok paling rentan karena mereka memiliki kondisi medis bawaan atau menghadapi hambatan sosial ekonomi yang dapat memengaruhi kesehatan, seperti tidak memiliki penyejuk udara (AC) atau tinggal di lokasi yang dapat menyerap dan memerangkap panas, sebut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Circulation itu.

"Beban kesehatan akibat panas ekstrem akan terus bertambah dalam beberapa dekade mendatang," kata Sameed A. Khatana, salah satu peneliti studi ini, sekaligus ahli kesehatan jantung dan asistan profesor bidang kedokteran di Universitas Pennsylvania.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.