Bangun Industri agar Bonus Demografi Tak Jadi Beban
Lapangan Kerja l Jumlah Pengangguran di Indonesia pada Agustus 2024 Capai 7,47 Juta Orang
Foto: antaraJAKARTA – Dominikus (25) acap kali mengirim lamaran ke sejumlah perusahaan, namun setelah sekian bulan belum ada satu pun yang menghubunginya. Perasaan kesal, kecewa, dan putus asa berbaur menjadi satu.
Selepas lulus dari salah satu kampus swasta di Jakarta pada 2023, dia berniat mencari peruntungan di kota Metropolitan. Sayangnya, peruntungan belum juga berpihak kepadanya. Bahkan, sempat pula dia mencari pekerjaan ke Jawa Barat, yang kerap disebut sebagai jantung industri nasional. Namun, hasilnya juga nihil.
Begitu juga Wais Qurais, pria asal Makassar, Sulawesi Selatan, sedang mencari pekerjaan baru setelah sempat bekerja di Phnom Penh, Kamboja, tetapi lamarannya tidak kunjung diterima. Sudah pula membawa lamaran ke kawasan industri di Makassar. Nasibnya juga belum beruntung.
Pengalaman Dominikus dan Wais menjadi cerminan dari jutaan penduduk usia kerja yang kesulitan mendapatkan pekerjaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2024 mencapai 7,47 juta orang. Sementara itu, jumlah angkatan kerja berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2024 sebanyak 152,11 juta orang, naik 4,40 juta orang dibanding Agustus 2023.
Padahal, Indonesia hingga berapa tahun ke depan menikmati momen bonus demografi atau ledakan penduduk usia kerja. Puncaknya pada 2030-an. Sebenarnya ini modal utama untuk meningkatkan produktivitas nasional menuju Indonesia Emas 2045.
Surplus penduduk usia kerja juga menjadi andalan untuk keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah/negara berkembang atau middle income trap. Sayangnya, ibarat pisau bermata dua, momen bonus demografi di satu sisi menguntungkan, di sisi lain bisa jadi bencana apabila penyerapan pekerja tetap saja minim.
Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Rizal Edi Halim, mengatakan timing atau waktu bonus demografi memang momentum bagus bagi Indonesia. Dengan catatan, bonus demografi itu dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mendorong produktivitas dan daya saing nasional.
“Sebaliknya, apabila bonus demografi ini tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, maka pada suatu waktu, terdapat periode ke depan di mana Indonesia akan mendapatkan generasi yang nonproduktif atau aging population (generasi usia lanjut),” jelasnya kepada Koran Jakarta, Senin (9/12).
Peran Negara
Rizal menekankan jika tidak dimanfaatkan secara optimal, bonus demografi ini justru akan menjadi beban negara di masa depan. "Kita tidak bisa mengelola yang disebut upside risk atau risiko yang sebenarnya bisa menjadi value, namun tidak bisa dimanfaatkan dengan baik," ujarnya.
Pertanyaan Rizal, bagaimana mengelola risiko menjadi value atau nilai itu semestinya dijawab oleh negara melalui kebijakan kebijakannya. Pemerintah perlu mencari cara agar negara bisa keluar dari masalah ini.
“Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai pembina sektor industri memiliki tanggung jawab moral bagaimana agar penduduk usia kerja yang melimpah ini tidak menjadi beban bagi negara,” katanya.
Spirit mengurangi impor yang selalu digaungkan Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, harus dikonkretkan dengan membangun industri substitusi impor (ISI) sebanyak mungkin. ISI merupakan kebijakan perdagangan dan ekonomi yang mendukung penggantian barang impor asing dengan barang produksi dalam negeri.
Inti dari ISI yakni sebuah negara harus mengurangi kebergantungannya pada negara asing dengan mengembangkan produk industri dalam negerinya. Istilah ini lebih mengacu pada kebijakan ekonomi pembangunan abad ke-20, namun senyatanya pola ini sudah diusulkan sejak abad 18 oleh ekonom Friedrich List dan Alexander Hamilton.
Indonesia sudah harus meninggalkan cara kerja konvensional yang hanya bermental pedagang. Mendatangkan barang dan luar (impor) lalu membanjiri pasar dalam negeri. Cara lama ini membuat negara selalu jalan di tempat, karena tidak adanya added value atau nilai tambah. Yang untung hanya pedagang dan negara negara eksportir yang memanfaatkan ceruk pasar RI yang besar.
Dengan membangun industri substitusi impor, penyerapan tenaga kerja akan meningkat. Keuntungan lainnya struktur industri nasional juga semakin kuat, sehingga tidak rentan dengan gejolak geopolitik yang semakin ke sini, kian tak menentu dan mengganggu rantai pasok global.
Sebagai warga negara, sudah sepantasnya mengapresiasi ketegasan Kementerian Perindustrian yang menolak investasi perusahaan teknologi Apple di RI yang hanya senilai 1,6 triliun rupiah karena belum memenuhi asas keadilan. Apple hanya menjadikan RI sebagai pasar dan mengeruk keuntungan 32 triliun rupiah dari penjualan produknya. Namun enggan membangun fasilitas produksi, padahal sudah membangun fasilitas produksi di Vietnam, senilai 255 triliun rupiah dan menyerap 200 ribu pekerja.
Langkah tegas ini pun berdampak ke Iphone 16 yang dilarang dijual di Indonesia. "Saat ini, Apple belum membangun pabrik atau fasilitas produksi di Indonesia," tegas Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita.
Serap Pekerja
Alasan Menperin masuk akal karena pembangunan pabrik lebih memberi multiplier effect karena akan menyerap banyak pekerja, mengurangi tingkat pengangguran dan membuat momentum bonus demografi tak berlalu begitu saja.
Sikap tegas Kemenperin juga terjadi pada Permendag 8/2024 yang dinilai mempermudah masuknya produk jadi tekstil dan produk tekstil (TPT) impor, sehingga mematikan industri nasional. Terlepas dari detail silang pendapat tersebut, intinya saya melihat inilah perwujudan jiwa nasionalisme di ranah industri. Kasus Apple dan impor TPT merupakan momen bagi RI untuk meningkatkan bergaining position atau posisi tawar di dunia internasional.
- Baca Juga: Pemerintah Pertahankan HGBT, Ini Pertimbangan yang Mendasarinya
- Baca Juga: Panen Cabai Terkendala Cuaca
Karena itu, Kemenperin diharapkan terus menjadi garda terdepan dalam membangun dan memperkokoh struktur industri nasional. Tak hanya untuk produk elektronik melainkan juga untuk semua sektor industri. Kiranya spirit ini juga menular pada kementerian/lembaga lain karena hanya dengan membangun industri, bonus demografi tak lagi menjadi beban ekonomi di masa depan, melainkan modal dan berkah menuju Indonesia Emas 2045.
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Setelah Trump Ancam Akan Kenakan Tarif Impor, Akhirnya Kolombia Bersedia Terima Deportasi dari AS
- 2 Diancam Trump, Kolombia Akhirnya Bersedia Terima Penerbangan Deportasi dari AS
- 3 Korban Mutilasi Cantik dan Seksi, Polisi Periksa Hotel di Kediri
- 4 Gerak Cepat, Polisi Temukan Potongan Kaki Korban Mutilasi di Ponorogo
- 5 Wamenekraf Dukung Gim Lokal untuk Mendunia
Berita Terkini
- Penyanyi Asal Inggris Elliot James: Lagu "I Think They Call This Love" tentang Cinta Pertama
- Cegah Jatuh Korban, Pemprov Dukung BPOM Berantas Skincare Berbahaya di Sulsel
- Presiden Afsel dan Rwanda Bahas Krisis di Kongo
- Inggris Umumkan Bantuan Kemanusiaan Senilai Rp339,5 Miliar untuk Gaza
- Pesawat Maskapai Korea Selatan Dilalap Api Menjelang Tinggal Landas