Manfaatkan UV, Bercocok Tanam di Dalam Peti Kemas
- BUMN
- Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
- Program BUMN
Bercocok tanam di dalam kontainer alias peti kemas? Kenapa tidak! Ini untuk mengantisipasi kelangkaan lahan pertanian terutama di kota besar seperti Jakarta. Meski baru tahap percobaan, namun setidaknya PLN UID Jaya bekerjasama dengan Kelompok Tani (Poktan) Rumpaka di kawasan Agroeduwisata, Ragunan.

Ket.
Doc: istimewa
Bercocok tanam di dalam peti kemas ini merujuk pada teknik hidroponik dan agro electrifying tanpa menggunakan lahan tanah namun dilakukan di dalam kontainer dengan memanfaatkan sinar ultra violet (UV).
Melalui program PLN Peduli, PLN UID Jaya memberikan bantuan Container Farming dan Grow Light LED Buah Naga untuk Kelompok Tani (Poktan) Rumpaka yang mengelola pertanian perkotaan di Agroeduwisata Ragunan. Tujuannya tentu untuk mendorong inovasi dalam meningkatkan produktivitas pertanian.
General Manager PLN UID Jakarta Raya Doddy B Pangaribuan, Kamis (23/6) menjelaskan bahwa program Container Farming dan Agro Electrifying di Agroeduwisata Ragunan memenuhi beberapa aspek dalam Sustainibility Developement Goals (SDGs) antara lain ketahanan pangan, edukasi, inovasi dan infrastruktur, kota dan komunitas berkelanjutan, serta kemitraan untuk mencapai tujuan.
"PLN Peduli memberikan pendampingan dan pembinaan kepada Kelompok Tani Rumpaka untuk mengoptimalkan metode container farming dan agro electrifying dengan tujuan agar lebih produktif," ujar Doddy yang turut mendampingi rekan jurnalis dalam acara media gathering.
Menurut Tim pendamping Kelompok Tani Rumpaka Zakaria, metode container farming adalah sebuah metode baru dalam bercocok tanam. Mengedepankan aspek inovasi teknologi dan meningkatkan kualitas sayuran sekaligus menjadi solusi pertanian di tengah perkotaan.
"Dengan metodi seperti ini, sayuran hidroponik lebih cepat bisa dipanen karena mendapat lingkungan yang terkontrol, baik pencahayaan maupun suhunya selama 24 jam. Hasilnya pun lebih higienis karena tidak terpapar debu maupun insektisida," paparnya.
Anda mungkin tertarik:
Itu pula yang menjadi salah satu pembeda antara tanaman di tanah terbuka dengan tanaman di dalam peti kemas. "Selain lebih steril dan higienis, panennya pun lebih cepat. Sebaliknya, kalau di lahan terbuka biasa, mudah terkena hama maupun penyakit. Cuma memang, harga jualnya menjadi sedikit lebih mahal," kata Zakaria.
Ia mengakui, salah satu kelemahan metode ini adalah ketergantungannya terhadap listrik, lantaran tanpa listrik tidak mungkin dilakukan upaya rekayasa sirkulasi air, suhu, pencahayaan maupun kelembaban. Jadi semua sangat tergantung pada listrik."
Agar tidak sekadar mendengar penjelasan, Zakaria langsung mempersilakan rekan jurnalis untuk melihat langsung cara kerja sistem cocok tanam dalam peti kemas ini. Di dalam peti kemas, tampak berisi rak-rak hidroponik dilengkapi lampu Grow Light LED sebagai pengatur cahaya dan sinar UV. Di sini juga harus disediakan air conditioner (AC) untuk mengatur suhu dan kelembaban sesuai dengan jenis tanamannya.
"Untuk satu project container farming butuh Lampu LED 10 watt. Kita pakai 240 lampu. Untuk listrik blower butuh sekitar 4.000 VA, dan AC 1.000 VA. Totalnya menjadi 5.500 VA," ujarnya.
Ia menjelaskan, pada lahan terbuka sayuran hidroponik seperti pokcoy memiliki masa tanam 30-45 hari hingga panen. Sementara di dalam peti kemas, waktu tanam hanya 25-30 hari.
Menurut Zakaria, PLN Peduli bersama Kelompok Tani Rumpaka yang bekerjasama menginisiasi Container Farming di Agroeduwisata Ragunan, ini merupakan yang pertama di Jakarta. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi sarana edukasi masyarakat tentang pertanian berbasis ruangan, terutama kota besar seperti Jakarta yang lahannya kian terbatas.
Tak hanya container farming, di Agroeduwisata Ragunan dikenalkan Agro Electrifying dengan memanfaatkan Lampu Sinar UV atau Grow Light LED dalam bercocok tanam Buah Naga. Sinar UV yang diperoleh selama 24 jam dari lampu membuat Buah Naga cepat panen.