Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 04 Jun 2019, 06:00 WIB

Pesan Kebangsaan Idul Fitri

Manusia yang jalinan hubungannya dengan orang lain terganggu, pasti juga akan mengalami kegelisahan. Hidupnya tidak akan bisa tenang. Manusia yang menyakiti orang lain, mendendam, atau melakukan dosa, berarti telah mengotori fitrah kemanusiaannya.

Foto: koran jakarta/ones

Idul Fitri memiliki makna spiritual yang bersifat individual dan sosial. Pada tingkat perorangan, Idul Fitri adalah perayaan kembalinya seseorang ke fitrah kemanusiaan yang suci setelah melalui tempaan puasa satu bulan penuh. Melalui olah rohani pengendalian diri selama bulan puasa, pribadi yang berhasil akan meraih kemenangan dengan kembali ke status asal penciptaan seperti terlahir suci.

Pemahaman tentang makna spiritual Idul Fitri secara sosial dapat berangkat dari pemahaman fitrah individual manusia. Menurut M Quraish Shihab, penamaan manusia dengan kata al-insan dalam bahasa Arab yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia diambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Artinya, manusia memiliki fitrah mendasar untuk menjalin hubungan baik yang bersifat harmonis dengan sesama.

Manusia yang jalinan hubungannya dengan orang lain terganggu pasti juga akan mengalami kegelisahan. Hidupnya tidak akan bisa tenang. Manusia yang menyakiti orang lain, mendendam, atau melakukan dosa, berarti telah mengotori fitrah kemanusiaannya.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, di antara pesan Idul Fitri yang penting digarisbawahi, dorongan untuk menjaga dan memperkuat jalinan harmoni antarmanusia. Berbagai fenomena kehidupan kebangsaan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan, ancaman terhadap harmoni kebangsaan tidak pernah usai. Memang benar di balik keragaman bangsa juga tersimpan potensi bekerja sama menuju bangsa yang unggul. Namun, tidak sedikit pula gejala yang menunjukkan bahwa harmoni itu dapat terganggu.

Salah satu pengganggu yang semakin mengkhawatirkan, persebaran hoaks karena intensitasnya semakin meningkat dan dampaknya semakin meluas mulai dari lokal hingga nasional. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, dalam empat bulan pertama tahun 2019, persebaran hoaks media sosial terus meningkat. Kemenkominfo mencatat ada 175 hoaks di bulan Januari 2019. Kemudian, 353 (Februari), 453 (Maret), dan 486 (April).

Hoaks yang mengancam harmoni kebangsaan ini terutama berkaitan dengan isu politik. Identifikasi Kemenkoninfo, periode Agustus 2018 hingga April 2019, dari 1.731 hoaks, 620 di antaranya masuk dalam kategori politik dan 210 masuk kategori pemerintahan.

Hoaks di bidang politik terkait pemilu yang baru usai digelar. Dampak persebarannya membuat masyarakat terbelah ke dalam kubu-kubu politik yang terus membangun narasi disharmoni yang tidak sehat. Beberapa dampaknya bahkan berupa tindak kekerasan seperti Mapolsek Tambelangan di Kabupaten Sampang pada 22 Mei lalu akibat hoaks yang ditelan mentah-mentah.

Narasi disharmoni terus terbangun terutama di media sosial, disusun oleh kaum awam yang memang kurang berpendidikan hingga dilakukan oleh mereka yang secara formal sudah cukup terdidik. Narasi disharmoni dan ancaman perpecahan sangat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara karena jalan untuk membangun dan meningkatkan mutu kehidupan masyarakat akan terhambat. Nalar dan emosi warga banyak dikotori informasi sesat, sehingga ruang kerja sama untuk berbuat kebajikan menyempit.

Secara teknis, hoaks dapat diatasi dengan klarifikasi dan peningkatan literasi. Kemenkominfo sendiri tak hanya berhenti mengidentifikasi hoaks di internet, tapi juga memverifikasi dan memvalidasi, sehingga diharapkan dapat memulihkan keadaan. Selain Kemenkominfo, banyak komunitas yang juga gigih mengidentifikasi dan mengklarifikasi hoaks.

Harmoni kebangsaan yang terancam hoaks dapat juga dilawan dengan memperkuat makna spiritual Idul Fitri khususnya dalam konteks fitrah harmoni manusia sebagai makhluk sosial. Dengan merayakan Idul Fitri, umat Islam khususnya didorong menjernihkan sikap batin dalam memandang dan berinteraksi dengan orang lain.

Dalam literatur dan tasawuf, umat Islam sering diingatkan tentang bahaya prasangka, dengki, dan dendam. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw mengingatkan agar kita berhati-hati dengan prasangka karena bisa serupa berita bohong. Dalam hadis yang lain dikatakan, jika di benak terlintas prasangka buruk tentang orang lain, jangan melayani dan melanjutkannya dengan tindakan lain.

Hoaks tentang "polisi Tiongkok" dalam aksi demo yang berlanjut rusuh pada 21-22 Mei lalu dapat menjadi cermin dan pelajaran tentang tindakan ceroboh dan grusa-grusu yang dipupuk oleh prasangka. Pelaku tanpa menyadari dapat mengganggu harmoni dan mengancam keutuhan bangsa.

Sikap dengki juga tak kalah berbahaya. Imam Syafi'i (w 820) mengingatkan, setiap permusuhan sejatinya dapat diharapkan bisa membaik, kecuali yang didasari sikap dengki. Sikap dengki mengotori pikiran seseorang, sehingga menutup pintu nalar dan hati yang jernih.

Maaf dan Cinta

Prasangka dan dengki mengotori hati, sehingga mengganggu fitrah harmoni sebagai modal pokok dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Idul Fitri mengajarkan agar umat terus belajar mencapai tingkat ketulusan maaf yang sejati. Maaf adalah wujud kesadaran bahwa dendam, kebencian, dan kemarahan hanyalah penghalang kebebasan yang justru memerangkap kita di ruang ego yang sempit dan pengap.

Orang yang mampu memberi maaf dapat menahan diri dari upaya membalas dendam. Menurut ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Surah An Nahl ayat 125, membalas dengan setimpal itu diizinkan. Akan tetapi, memaafkan itu jauh lebih baik. Jalaluddin Rakhmat menerangkan, memaafkan itu lebih baik. Menurutnya, manusia cenderung membalas lebih buruk, sehingga terjerembap ke perilaku zalim.

Dalam kehidupan sosial, maaf di sini tentu saja tidak berarti kita menafikan nilai dan dampak perilaku buruk, zalim, dan tidak adil. Perbuatan buruk tetap harus diadili. Namun, maaf di sini lebih sebagai sebuah sikap batin dalam melihat dan membuka jalinan dengan orang lain. Sebab, tertutupnya pintu maaf juga berarti tertutupnya kemungkinan jalinan harmoni dan kerja sama dengan orang lain.

Pada lapisan makna yang terdalam, memaafkan adalah ungkapan cinta. Memberi maaf dengan tulus merupakan ungkapan cinta pada orang yang dimaafkan. Ini tingkat tertinggi sikap batin memaafkan. Jika terus dipupuk akan menjadi kekuatan besar dalam merawat harmoni kebangsaan.

Umat Islam yang sudah menjalani puasa harus berbesar hati bahwa dirinya sudah berhasil melewati jihad dan latihan batin menaklukkan berbagai bentuk nafsu sepanjang bulan. Inilah yang perlu terus dijaga. Sebab di antara pesan kebangsaan Idul Fitri yang cukup kontekstual saat ini adalah panggilan untuk senantiasa menjaga fitrah harmoni kemanusiaan sebagai dasar bagi upaya untuk terus menebarkan kebajikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.Penulis Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah

Redaktur:

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.