Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 17 Feb 2018, 05:30 WIB

Pasal Penghinaan Presiden

Foto: koran jakarta/ones

Oleh Gan-Gan RA

Socrates, filsuf terkemuka dari Yunani, menjelaskan bahwa sesuai hakikat manusia maka hukum merupakan tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan umum. Kenyataannya, hukum sebagai produk politik sering kali dijadikan sebagai alat kekuasaan. Ini bukti yang tak terbantahkan tentang intervensi kepentingan rezim dalam mendesain draf Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk disahkan sebagai produk hukum positif.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan telah bersepakat untuk menghidupkan kembali pasal lese-majeste, penghinaan terhadap penguasa, Presiden/Wakil Presiden ke dalam pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Panitia Kerja DPR akan membahasnya dalam Revisi KUHP (RKUHP). Padahal pada 6 Desember 2006, Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP yang dikategorikan lese-majeste, dan penghinaan terhadap pemerintah diatur dalam Pasal 154 dan 155 dikategorikan haatzai artikelen.

Pasal lese-majeste dan haatzai artikelen telah dibatalkan lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 013-022/PUU-IV/2006 dan putusan MK No 6/PUU-V/2007. Alasannya, pasal tersebut bertentangan dengan hak kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan berekspresi warga negara. Lalu pada 17 Juli 2007, MK menyatakan haatzai artikelen tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal leje-majeste dan haatzai artikelen inkonstitusional.

Pasal lese-majeste dibuat sekitar tahun 1800-an, sering diberlakukan di negara-negara monarki karena raja diindentikkan sebagai simbol negara. Di beberapa negara Eropa, lese majeste masih berlaku, seperti di Norwegia, Spanyol, Denmark, dan Belanda. Di Asia Tenggara hanya Thailand, hukum lese-majestetertuang dalam bentuk aturan tentang penghinaan kepada raja beserta keluarganya sejak 1908. Saat itu, raja memiliki kekuasaan absolut.

Ini berbeda dengan sistem monarki konstitusional di mana raja menempati posisi kepala negara, bukan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial, presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan pemerintahan, bukan lambang negara. Ini berbeda dengan Belanda yang menganut sistem monarki parlementer, di mana ratu adalah kepala negara sebagai simbol negara. Sedang kepala pemerintahan adalah perdana menteri.

Ide pemerintah yang disetujui DPR untuk membangkitkan pasal lese-majeste dan haatzai artikelen sesungguhnya bentuk ketidakpahaman tentang anatomi hukum tata negara. Ini lebih pada pemberhalaan kultur feodalistik, di samping perang tafsir hukum. Pemerintah dan DPR tengah membangkitkan kembali gairah neokolonialisme yang bisa menyeret republik ini ke era kegelapan demokrasi dan membuka ruang bagiotoritarianisme. Kontrol represif yang mencekik leher kebebasan berpendapat yang dimanifestasikan rakyat lewat pernyataan kritik kepada rezim.

Jika pasal karet tersebut disahkan, reinkarnasi pasal subversif mulai mengancam. Dengan mudah penguasa memidanakan lawan politik, aktivis pro demokrasi dan HAM.

Inkonstitusional

KUHP Indonesia merupakan duplikasi dari Wetboek van Strafrech voor Nedherland Indie (WvS) yang pada dasarnya memiliki kesamaan dengan KUHP Belanda. Hanya ranah otoritas yang membedakannya dari rezim yang sedang berkuasa.

WvS melindungi pemerintah Belanda dan Hindia Belanda, sedangkan KUHP melindungi pemerintah Indonesia. Awal Agusutus 2015, pemerintah mengajukan 786 Pasal dalam RUU KUHP ke DPR untuk disetujui menjadi UU KUHP, di antara pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden yang memantik polemik dan paling banyak ditentang kalangan pakar hukum. Legislator sebaiknya memahami betul pasal yang dimatikan putusan MK, tidak boleh dimasukkan lagi ke dalam pembahasan RUU KUHP.

Jika itu dilakukan, pemerintah dan DPR telah bertindak inkonstitusional. Penyelundupan di bidang rancangan hukum. Pasal leje-majeste sempat diperdebatkan sengit oleh sejumlah anggota fraksi di Tim Musyawarah (Timmus) RUU RKUHP sebelum disepakati untuk dibahas di tingkat panja. Jika Panja RKUHP setuju dengan rumusan pemerintah untuk menjadikan pasal lese-majestesebagai delik umum, bukan lagi aduan, maka inilah ancaman paling mematikan asas demokrasi.

Rezim otoritarian bisa menggiring siapa pun, apabila terbukti menghina Presiden/Wakil Presiden untuk dikenakan proses hukum pidana, tanpa perlu menunggu pengaduan. Menteri Hukum dan HAM, Yasona H Laoly, menjelaskan adanya penegasan perbedaan dalam pasal penghinaan terhadap Presiden, yaitu pengertian antara kritik dan penghinaan dalam pasal tersebut. Dalam RUU KUHP, pasal lese-majeste diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) "Setiap orang di muka umum yang menghina Presiden/Wakil Presiden akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Sedangkan Pasal 264 berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori IV."

Pasal haatzai artikelen yang menghina pemerintah dalam RKUHP, terdapat dalam Pasal 284 "Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV." Lalu dalam Pasal 285, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan, gambar atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Dari kontruksi teks pasal lese-majeste dan haatzai artikelen yang termaktub dalam RKUHP, kita tengah berhadapan dengan draf rancangan perundang-undangan yang menafikan persamaan kedudukan setiap individu di mata hukum, equility before the law. Inilah kemunduran fatal dalam melindungi martabat pemimpin dengan mengidupkan kembali produk hukum warisan kolonial. Aritoteles menjelaskan keadilan sebagai keutamaan umum yang bersandar pada ketaatan hukum alam dan positif. Dalam konteks hukum alam, manusia memiliki hak fundamental dalam kebebasan, utamanya berbicara. Kebebasan berbicara sebuah hak yang diberikan Tuhan. Juga salah satu hak alami hukum alam dan merupakan bagian dari fitrah mendasar yang tidak bisa dihapus sebuah kekuatan apa pun.

Penulis Koordinator Divisi Komunikasi Eksternal Satgas Advokasi Pemuda Muhammadiyah

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.