Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Minggu, 23 Feb 2025, 11:36 WIB

Tren #KaburAjaDulu, Peringatan Bagi Pemerintah Sebelum Kehilangan Generasi Berkualitas

Dua perempuan membawa tas dan koper ketika berada di bandara untuk melakukan perjalanan.

Foto: The Conversation/Shine Nucha/Shutterstock
Dini Dwi Kusumaningrum, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Anggi Afriansyah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Fikri Muslim, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Dalam beberapa hari terakhir, tagar #KaburAjaDulu meramaikan jagat media sosial Indonesia sebagai bentuk gerakan kolektif yang mengajak kaum muda terdidik pindah ke luar negeri. Fenomena ini merupakan bentuk kekecewaan rakyat terhadap negara atas ketidakstabilan ekonomi-politik dan ketidakpastian hukum.

Alih-alih berkaca diri, pemerintah justru menanggapi fenomena ini dengan tidak serius. Bahkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer seakan menantang balik dengan mengatakan “Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi”.

Padahal, ini bisa saja menjadi perkara serius dan menimbulkan risiko sumber daya manusia (SDM) Indonesia berkualitas bermigrasi ke negara lain. Bukan tidak mungkin, kaum terdidik benar-benar kabur ke luar negeri karena alasan yang memang masuk akal.

Jika demikian, Indonesia bisa benar-benar kehilangan SDM berkualitas yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi.

Awal mula munculnya ajakan #KaburAjaDulu

Menurut data Drone Emprit, tagar #KaburAjaDulu sebetulnya mulai beredar di platform X maupun berbagai media berita online sejak September 2023. Trennya terus naik pada pertengahan 2024 dan memuncak pada awal 2025. Tagar ini terlacak diunggah oleh akun @amouraXexa pada 8 Januari 2025 dan viral pada 14 Januari 2025.

Dari sisi umur, profil demografis pengguna berusia antara 19-29 tahun yang meramaikan tagar #KaburAjaDulu sebesar 50,81%. Sementara itu, pengguna berusia kurang dari 18 tahun sebanyak 38,10%. Dari segi gender, separuh lebih #KaburAjaDulu disampaikan oleh laki -laki.

Secara demografis, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024, terdapat 149,38 juta orang angkatan kerja dengan tingkat pengangguran sebesar 4,82%, atau ada sebanyak 7,2 juta orang yang menganggur.

Sementara itu, pada periode Februari 2024, dari 44,41 juta orang kaum muda (usia 15–24 tahun) di Indonesia, sekitar 19,30% termasuk ke dalam kategori not in education, employment, or training (NEET), alias tidak bersekolah, tidak bekerja, juga tidak sedang mengikuti pelatihan.

Sejumlah data di atas menunjukkan bahwa kondisi lapangan pekerjaan di Indonesia sedang tidak bersahabat bagi generasi muda. Tak heran, jika mereka merasa tidak betah tinggal di negeri sendiri.

Data Direktorat Jenderal Imigrasi periode 2019-2022 menunjukkan sebanyak 3.912 warga negara Indonesia (WNI) pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura. Sekitar 1.000 mahasiswa Indonesia berusia 25–35 tahun memutuskan menjadi warga negara Singapura setiap tahunnya.

Adapun alasan utama yang mendorong mereka pergi dari Indonesia, yaitu mencari kesempatan kerja, infrastruktur, dan pendidikan yang lebih baik.

Pertimbangan lainnya meliputi perbandingan upah dan indeks perdamaian di negara lain, termasuk kestabilan politik, tingkat kejahatan, dan kerentanan terhadap bencana alam.

Sayangnya, mereka yang bisa memilih untuk bekerja atau menempuh pendidikan ke luar negeri umumnya hanya kaum terdidik dengan bekal kemampuan yang memadai, memiliki privilese, dan modal sosial untuk memilih karier yang lebih baik.

Dorongan untuk #KaburAjaDulu juga mendapat social support dari diaspora Indonesia dengan menyediakan informasi persiapan berkarier atau belajar di luar negeri.

Selain itu, fenomena #KaburAjaDulu bisa dipahami sebagai bentuk flight response, yaitu sebuah coping mechanism atas situasi yang menekan—terlebih ke luar negeri dapat memberikan peluang mobilitas ekonomi dan sosial.

Waspada kehilangan sumber daya berkualitas

Bank Dunia dalam Human Capital Project menjelaskan bahwa modal sumber daya manusia merupakan faktor kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan.

Pemerintah Indonesia sendiri selalu menegaskan bahwa investasi  human capital akan memberikan return of investment tenaga kerja produktif di masa depan. Rezim Prabowo Subianto-Gibran  Rakabuming Raka dalam Astacita-nya menyatakan beberapa langkah untuk meraih generasi emas di tahun 2045 dengan cara meningkatkan kapasitas manusia. Ini dilakukan melalui penguatan pendidikan, sains dan teknologi, serta digitalisasi.

Namun, pernyataan viral dari Wamen Immanuel dalam merespons #KaburAjaDulu dengan mempersilakan generasi muda untuk “kabur” dan tidak perlu kembali ke Indonesia tentu saja sangat disayangkan dan menjadi kontra produktif dengan upaya pengembangan SDM.

Pemerintah alangkah baiknya tidak merespons fenomena #KaburAjaDulu secara reaktif dan terkesan emosional. Karena hilangnya SDM berkualitas pada akhirnya akan menghadapkan Indonesia pada bayang-bayang kegagalan memanfaatkan kesempatan untuk memetik bonus demografi.

Jumlah penduduk usia produktif yang besar, tanpa diiringi kualitas yang baik bisa menjadi bumerang bagi pembangunan nasional. Sebab, berapa pun jumlah penduduk, bila memiliki kualitas yang baik dapat menjadi modal pembangunan. Sebaliknya, jumlah penduduk yang besar tanpa memiliki kualitas akan menjadi beban berat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Alih-alih menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi, bonus demografi yang diharapkan justru berubah menjadi beban demografi. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, menjelaskan bahwa peluang Indonesia untuk memanfaatkan momentum bonus demografi sebetulnya masih terbuka, karena pada tahun 2020 masih terdapat 29 provinsi yang berada pada tahap awal bonus demografi.

Yang perlu dibenahi pemerintah

Pemerintah tidak perlu alergi terhadap berbagai wacana yang dimunculkan publik, termasuk tagar #KaburAjaDulu. Sebab dalam konteks negara demokrasi, hal tersebut merupakan bagian dari intellectual discourse yang wajar.

Respons defensif, seperti menganggap tidak cinta Tanah Air atau jangan balik lagi, hanya membuat para generasi muda merasa pemerintah tak memiliki itikad baik dalam merespons aspirasi mereka.

Sebaiknya pemerintah fokus pada reformasi pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Sebab, Indonesia masih menghadapi persoalan klasik berupa ketidakcocokan latar pendidikan dengan dunia kerja.

Berdasarkan data Sakernas BPS 2023, 29,36% mayoritas lapangan pekerjaan di Indonesia didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Kenyataannya, berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik), jumlah siswa SMK terbanyak saat ini justru di bidang keahlian TIK, teknologi dan rekayasa, serta bisnis manajemen dengan total persentase 80%. Ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dan pekerjaan, baik secara vertikal (undereducation/overeducation) maupun horizontal (tidak sesuai dengan keahlian/pendidikan formal) akan menghambat optimalisasi produktivitas SDM.

Dukungan pemerintah melalui beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi, harus diiringi dengan upaya menciptakan lapangan pekerjaan maupun iklim usaha yang baik, agar suplai tenaga kerja terserap ke dunia kerja.

Selain itu, perlu ada perbaikan struktural untuk mendukung iklim pasar kerja melalui perbaikan birokrasi, stabilitas politik dan ekonomi, serta kepastian hukum.

Kejelasan regulasi, koordinasi yang baik antarkementerian/lembaga/pemerintah daerah, disertai kesiapan infrastruktur, serta kualitas sumber daya manusia Indonesia yang terdidik dan sehat akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Jika tidak teratasi, public trust terhadap negara akan semakin memburuk dan menambah kesenjangan sosial yang sudah ada.The Conversation

Dini Dwi Kusumaningrum, Sosiolog/Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Anggi Afriansyah, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Fikri Muslim, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.