Hilirisasi Bakal Ciptakan Banyak Lapangan Kerja
Foto: Sumber: Kemen ESDM – Litbang KJ/and - KJ/ONESJAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong investasi untuk hilirisasi industri nikel yang nantinya diproduksi menjadi baterai lithium sebagai komponen utama, sekitar 50 persen, dalam komponen mobil listrik. Ini merupakan upaya Jokowi menjadikan Indonesia pemain besar industri mobil listrik dunia.
Sejumlah kalangan menilai hilirisasi industri bahan tambang itu selain meningkatkan nilai tambah produk, juga bakal mendukung penciptaan lapangan kerja sehingga menopang pertumbuhan ekonomi tinggi.
Untuk mewujudkan cita-cita Presiden Jokowi itu, pemerintah perlu memiliki visi jauh ke depan bagi pengembangan hilirisasi industri bahan hasil tambang dengan melibatkan pengusaha terkait dan juga kementerian-kementerian yang selama ini masih terpisah-pisah urusannya.
Direktur Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan menyusul pelarangan ekspor bahan tambang mentah, hingga kini investasi di sektor tambang masih sebatas pengolahan di smelter. Menurut dia, belum ada sinyal kuat akan munculnya industri yang mengolah bahan dasar menjadi bahan baku pembuatan baterai mobil listrik, bahan baku stainless steel, alat elektronik, dan sebagainya.
Tauhid menambahkan untuk mengembangkan industri mobil listrik sebagai upaya lompatan pemanfaatan hasil tambang dan penyerapan lapangan kerja di masa depan, pemerintah perlu menjalin komitmen jangka panjang dengan perusahaan swasta nasional atau BUMN terkait.
"Yang paling sulit adalah membuat brand mobil listrik sehingga laku di pasar. Kalau sudah ada komitmen itu, nanti industri penopangnya pasti tumbuh, termasuk kebutuhan baterainya yang merupakan salah satu komponen kunci dari mobil listrik," jelas Tauhid, ketika dihubungi, Jumat (29/11).
Guna mewujudkan hal itu, lanjut dia, diperlukan kebijakan yang menyambungkan kebijakan dari hulu, yakni sektor tambang, dan di hilir yakni produk yang siap digunakan konsumen. Hal tersebut melibatkan kementerian berbeda dan pengusaha berbeda yang selama ini sudah terlalu nyaman dengan caranya mengelola bisnis masing-masing.
Untuk membuat produk akhir yang siap dipakai juga memerlukan keterlibatan ahli dari seluruh dunia yang memang belum dimiliki Indonesia. "Jadi tidak hanya menghubungkan antarpengusaha dan antarkementerian, tapi juga menarik talent penguasa teknologi terbaik dari seluruh dunia. Ini perlu kerja sungguh-sungguh jangka panjang dengan dukungan penuh pemerintah," papar Tauhid.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menargetkan dalam dua hingga tiga tahun ke depan, Indonesia bisa merealisasikan wacana sebagai produsen baterai lithium.
"Ini harus diatur sehingga kita bisa menjadi pemain besar produksi mobil listrik dunia. Ini akan besar-besaran diproduksi karena orang tidak senang gunakan energi fosil. Strategi itu harus didesain dari sekarang. Kita punya kekuatan itu kenapa tidak dikerjakan," ujar Jokowi, di Jakarta, Kamis (28/11).
Menurut Presiden, Indonesia memiliki potensi besar sebagai salah satu penghasil dan eksportir nikel dunia. Akan tetapi, dia tidak ingin para pengusaha hanya mengekspor produk mentah nikel tanpa mengolahnya menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi.
Kemudahan Berusaha
Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan secara teknis hampir tidak ada kendala dalam menerapkan hilirisasi karena teknologinya semakin murah. Untuk itu, kepercayaan investor harus ditumbuhkan dengan berbagai jurus kemudahan berusaha.
"Nilai tambah dari hilirisasi bisa ratusan bahkan ribuan persen, sehingga nilai ekonominya menjadi sangat tinggi," jelas dia.
Menurut Imron, untuk menarik investasi asing di hilirisasi industri ini dibutuhkan kemudahan birokrasi, keamanan, dan kenyamanan berusaha, insentif pajak, dan yang paling penting adalah kepastian hukum.
Sementara itu, pemerintah memperkirakan potensi hilirisasi nikel sampai 2024 bisa mencapai 34 miliar dollar AS. Saat ini, potensi ekspor nikel diperkirakan sebesar 10 miliar dollar AS. Artinya masih tersisa 24 miliar dollar AS lagi yang harus dioptimalisasi.
Melalui hilirisasi diharapkan bisa mendorong minat investor terhadap investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) di Indonesia, sehingga defisit neraca perdagangan Indonesia bisa membaik. YK/SB/ers/WP
Redaktur:
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Program Bumi Berdaya Pacu Daya Saing SDM
- Sampah Hasil Pendakian di Gunung Rinjani Capai 31 Ton
- COP29 Diperpanjang, Negara Miskin Tolak Tawaran 250 Miliar Dollar AS
- Belanda Pertama Kali Melaju ke Final Piala Davis Usai Kalahkan Jerman
- Kampanye Akbar Pramono-Rano Hari Ini di Stadion Madya GBK Senayan, 20.000 Massa Siap Dukung