
Covid-19 Melonjak Pemprov Diminta Maksimalkan PSBB
Gubernur DKI Jakarta , Anies Baswedan
Foto: antaraDewan minta ada penindakan tegas pelanggaran protokol kesehatan oleh aparat baik pihak Pemprov, maupun TNI Polri.
JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan diminta perketat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jika konfirmasi kasus Covid-19 masih tinggi.
- Baca Juga: Pembangunan Jakarta Mesti Searah Rencana Nasional
- Baca Juga: Sekolah pinggir jalan gratis
"Tanggal 25 Januari nanti ada penurunan enggak, setelah PSBB ketat ini? Kalau enggak, kita akan perpanjang lagi karena besar sekali ini (pertambahannya). Ya, lebih diketatkan juga," kata Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi di Balai Kota Jakarta, Senin (18/1).
Menurut Prasetio, lonjakan kasus di Jakarta ini, berasal dari libur panjang pada akhir tahun lalu terlebih ada masyarakat pekerja di DKI Jakarta yang dari luar daerah Jakarta akhirnya dideteksi dan ditampung juga sebagai pasien Covid-19 di Jakarta.
"Liburan kemarin ini sangat luar biasa, orang ke luar kota, pulang ke Jakarta. Kemudian (orang) daerah penunjang semua minta (dirawat) ke Jakarta, mengecek Wisma Atlet sampai penuh saat ini," katanya.
Selain itu, Prasetio juga meminta ada penindakan tegas pelanggaran protokol kesehatan oleh aparat baik pihak Pemprov, maupun TNI Polri, mulai dari ketentuan maksimal masuk perkantoran hanya 25 persen, larangan berkerumun dan penggunaan masker.
"Nah itu, pelanggaran-pelanggaran harus ditindak tegas itu. Masyarakat juga harus sadar ketentuan-ketentuan itu harus dijalankan, tidak bisa tidak harus dijalankan dulu, kalau enggak dijalankan ini, akan terus meningkat akhirnya masyarakat sendiri yang rugi," ucapnya.
Sebelumnya, Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono menilai pengetatan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di Ibu Kota, belum maksimal, akibatnya penularan Covid-19 masih sulit dikendalikan. "Kalau mau PSBB seperti ini harus dilakukan dengan serius. Kalau mau, lebih baik di-lockdown atau PSBB tingkat berat," kata Tri.
Tri melihat pembatasan sektor usaha hingga 25 persen tidak dilaksanakan dengan serius. Hal itu bisa dilihat dari masih padatnya jalan di DKI. "Kalau memang 25 persen itu ditaati, tidak mungkin kepadatan di Jakarta masih seperti sekarang. Kalau 75 persen di rumah pasti Jakarta jauh lebih sepi dari sekarang," ujarnya.
Kelompok Produktif
Sementara itu, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) dr. Irandi Putra Pratomo mengatakan kasus Covid-19 masih menunjukkan kenaikan dan belum ada tanda-tanda grafik akan menurun.
"Kelompok umur yang paling banyak menderita Covid-19 yaitu usia produktif, namun yang lebih banyak meninggal dunia yaitu pada kelompok lansia," ujar dr. Irandi.
Irandi yang juga merupakan Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan pada beberapa pasien Covid-19 dalam beberapa penelitian mengalami efek samping atau komplikasi, di antaranya yaitu adanya kerusakan saraf.
Tantangan yang dihadapi saat ini, kataIrandi, di antaranya masih banyak beredar hoax terkait Covid-19 bahwa virus korona merupakan senjata biologis yang dibuat oleh suatu negara. Selain itu juga ada hoax mencuci tangan boleh pakai air saja, menjemur barang-barang di bawah sinar matahari selama 30 menit dapat menghilangkan virus padahal seharusnya masih perlu untuk didisinfeksi.
Hal ini disebabkan masih rendahnya literasi dan kesadaran kesehatan masyarakat Indonesia. Terkait vaksin, banyak pula orang yang beranggapan bahwa vaksin dapat menjadi peluru perak (silver bullet) satu-satunya dalam menghadapi Covid-19.
Dokter Irandi berpesan untuk tidak melupakan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan membatasi mobilitas). 5M ini sangatlah efektif untuk mencegah Covid-19.
Sementara itu dokter spesialis mikrobiologi klinik Rumah Sakit Universitas Indonesia dr. Ardiana Kusumaningrum, Sp.MK menyatakan varian baru Covid-19 lebih cepat menular dengan laju 50-74 persen dari varian sebelumnya.
Ardiana mengatakan sejak Januari 2020 hingga Desember 2020 terdapat beberapa varian dari SARS CoV-2 yaitu sebanyak tujuh varian yang tersebar di beberapa daerah di dunia. Selain itu, banyak pula laporan kasus terkait fenomena mutasi, salah satunya di Inggris.
Mutasi alami terjadi namun untuk SARS CoV-2 belum terdapat bukti ilmiah yang menyatakan bahwa mutasi baru membuat virus ini menjadi lebih ganas atau menyebabkan sakit lebih berat.
n jon/Ant/P-5
Redaktur: M Husen Hamidy
Penulis: Antara
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Harga BBM di SPBU Vivo Turun, Pertamina, BP dan Shell Stabil
- 2 Terkenal Kritis, Band Sukatani Malah Diajak Kapolri Jadi Duta Polri
- 3 RI Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Kolaborasi AZEC
- 4 Akademisi: Perlu Diingat, Kepala Daerah yang Sudah Dilantik Sudah Menjadi Bagian dari Pemerintahan dan Harus Tunduk ke Presiden
- 5 Pangkas Anggaran Jangan Rampas Hak Aktor Pendidikan
Berita Terkini
-
Polisi Bersama Warga Mengevakuasi Korban Serangan Babi Hutan
-
Pimpinan TNI Wajib Beri Sanksi Atasan dan Tentara yang Menyerang Polres
-
Ascott Jakarta Kolaborasi Bersama Sparks Fashion Academy Umumkan Pemenang Uniform Project
-
Anggota DPR Minta TNI Beri Sanksi Atasan Prajurit yang Menyerang Polres Tarakan
-
Kejaksaan RI Luncurkan Tiga Program Quickwins untuk Tingkatkan Penerimaan Devisa Negara