Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Walau Mengalami, Kartini Mengkritik Poligami

A   A   A   Pengaturan Font

Bacaan membuat Kartini mengagumi budaya dan pemikiran Belanda. Lebih penting dari itu, Bahan bacaan mampu memberdayakan akal sehat Kartini sehingga kungkungan tradisi tidak membuatnya patuh bebek. "Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya," kata Kartini (hlm 5).

Dalam konteks pendidikan, Kartini mengkritik guru yang hanya fokus pada transfer of knowlegde sehingga melupakan penanaman budi pekerti. Pemikiran ini compatible di zaman sekarang karena pemerintah sedang merumuskan pendidikan karakter. Bagi Kartini, perempuan sama dengan pria. Kendatipun tradisi saat itu sangat diskriminatif, tidak memberi keleluasaan pendidikan pada perempuan, dengan terus belajar lewat membaca, perempuan juga akan memiliki potensi yang perlu diperhitungkan. "Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita seutuhnya," katanya (hlm 6).

Dia mengkritik tatanan sosial feodalistik. Kaum bangsawan disembah bak dewa. Yang membuat sakit hati ketika Ngasirah, ibu kandung Kartini yang bukan keturunan darah biru, harus berjalan jongkok di depannya dan adik-adik. Adik-adiknya juga penuh hormat bersikap seolah orang lain, buka saudaranya. Tidak heran dia memerintahkan agar dipanggil Kartini saja. Tatanan penghormatan feodal diterabas.

Walau lahir dan dididik dalam keluarga muslim, tidak menyurutkan kritikannya terhadap ajaran poligami dalam Islam. Ini tidak adil bagi wanita, walau dia sendiri akhirnya merasakan tidak enaknya dipoligami. Dia berharap wanita generasi selanjutnya dipoligami seperti dirinya atas legitimasi agama. Dia juga mengkritik tradisi pembelajaran membaca Alquran, tanpa diajari artinya. Ini sama saja membaca buku berbahasa Inggris, tanpa mampu memahami. Dia bukan penentang Islam karena agama lain pun juga tidak lepas dari kritikannya (hlm 178-180). Buku ini bisa disebut intisari dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang.


Diresensi Miftahul Khoiri, Alumnus Sunan Ampel

Komentar

Komentar
()

Top