Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Walau Mengalami, Kartini Mengkritik Poligami

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Celoteh RA Kartini

Penyunting : Ahmad Nurcholish

Penerbit : Elex Media

Cetakan : 2018

Tebal : xxii + 246 halaman

ISBN : 978-602- 04-5598-3

Banyak orang berpikir, Kartini hanya memperjuangkan emansipasi. Padahal emansipasi hanya salah satu bagian dari perjuangannya. Selama hidup, dia memperjuangkan banyak hal. Ini dibuktikan dengan surat-suratnya. Emansipasi wanita lebih menonjol karena berkaitan erat dengan nasib pribadinya. Di samping itu, dia bisa memperjuangkannya secara riil dengan membangun sekolah perempuan yang difasilitasi Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat, suaminya.

Perlu meluaskan pandangan tentang perjuangan Kartini agar mengenangnya tidak sebatas kebaya, sanggul, dan urusan tataboga. Buku ini menghadirkan ide-ide utama perjuangan Kartini berkaitan dengan emansipasi wanita, pendidikan, keagamaan, dan kebangsaan lewat ratusan suratnya yang kemudian dibukukan Habis Gelap Terbitlah Terang (hlm ix).

Kartini digambarkan sebagai sosok yang haus ilmu pengetahuan. Wawasannya yang luas tentang sosial-budaya dan pendidikan bernuansa Eropa, kadang membuatnya dicurigai sebagai antek kolonial. Tapi begitulah zaman itu. Buku-buku berbahasa Melayu sangat jarang. Buku dan majalah yang terbit berbahasa Belanda. Kartini yang sempat belajar di sekolah Belanda akhirnya bisa mengakses luasnya ilmu pengetahuan dengan bahasa tersebut.

Pada umur 13 tahun dilarang melanjutkan sekolah karena tradisi pingitan. Baginya, itu bukan berarti pendidikan juga berhenti. Dia tetap belajar dengan cara berlangganan surat kabar, majalah, dan membeli buku. Luasnya bahan bacaan memampukan memindai beragam ketimpangan. "Kartini pun beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat majalah De Hollandsche Lelie, " tulis buku ini (hlm xvi).

Bacaan membuat Kartini mengagumi budaya dan pemikiran Belanda. Lebih penting dari itu, Bahan bacaan mampu memberdayakan akal sehat Kartini sehingga kungkungan tradisi tidak membuatnya patuh bebek. "Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya," kata Kartini (hlm 5).

Dalam konteks pendidikan, Kartini mengkritik guru yang hanya fokus pada transfer of knowlegde sehingga melupakan penanaman budi pekerti. Pemikiran ini compatible di zaman sekarang karena pemerintah sedang merumuskan pendidikan karakter. Bagi Kartini, perempuan sama dengan pria. Kendatipun tradisi saat itu sangat diskriminatif, tidak memberi keleluasaan pendidikan pada perempuan, dengan terus belajar lewat membaca, perempuan juga akan memiliki potensi yang perlu diperhitungkan. "Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita seutuhnya," katanya (hlm 6).

Dia mengkritik tatanan sosial feodalistik. Kaum bangsawan disembah bak dewa. Yang membuat sakit hati ketika Ngasirah, ibu kandung Kartini yang bukan keturunan darah biru, harus berjalan jongkok di depannya dan adik-adik. Adik-adiknya juga penuh hormat bersikap seolah orang lain, buka saudaranya. Tidak heran dia memerintahkan agar dipanggil Kartini saja. Tatanan penghormatan feodal diterabas.

Walau lahir dan dididik dalam keluarga muslim, tidak menyurutkan kritikannya terhadap ajaran poligami dalam Islam. Ini tidak adil bagi wanita, walau dia sendiri akhirnya merasakan tidak enaknya dipoligami. Dia berharap wanita generasi selanjutnya dipoligami seperti dirinya atas legitimasi agama. Dia juga mengkritik tradisi pembelajaran membaca Alquran, tanpa diajari artinya. Ini sama saja membaca buku berbahasa Inggris, tanpa mampu memahami. Dia bukan penentang Islam karena agama lain pun juga tidak lepas dari kritikannya (hlm 178-180). Buku ini bisa disebut intisari dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang.


Diresensi Miftahul Khoiri, Alumnus Sunan Ampel

Komentar

Komentar
()

Top