VOC, Perusahaan Kaya Raya yang Bangkrut
Foto: IstimewaVOC berkat kemampuan monopolinya, membuat reputasinya sangat kuat. Namun perusahaan yang menjadi cikal bakal bagi perusahaan multinasional pertama di dunia ini menjelang usia ke-200 tahun, dinyatakan pailit.
Tepat pada 31 Desember 1799, VereenigdeOostindische Compagnie (VOC) secara resmi dibubarkan. Penyebabnya tidak mampu lagi menjalankan monopoli dagangnya karena persaingan yang semakin ketat. Korupsi yang merajalela di kalangan karyawannya, membuat beban utangnya menumpuk menjadi masalah utamanya.
Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham. Salah satu pemegang saham VOC terbesar adalah Isaac Le Maire, seorang pengusaha dan investor keturunan Yahudi asal Wallonia atau sekarang disebut Belgia.
Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah persekutuan badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas serta hak-hak istimewa (octrooi). Perusahaan ini boleh memiliki tentara, memiliki mata uang, bernegosiasi dengan negara lain hingga menyatakan perang.
Kemampuannya memonopoli perdagangan membuat perusahaan yang berdiri pada 20 Maret 1602 sangat kaya raya. Kekayaan yang dimiliki mencapai 78 juta gulden atau setara dengan 7,9 triliun dollar AS. Jika dikonversi ke dalam rupiah 1 dollar AS sama dengan 14.000 rupiah maka nilai mencapai 110,6 kuadriliun.
Lalu apa yang membuat perusahaan sekaya ini bangkrut? Ada banyak penyebab dan merupakan proses lambat yang memakan waktu hampir sepanjang abad ke-18. Salah satu alasan utamanya adalah meningkatnya persaingan English East India Company (EIC) dan Compagnie des Indes milik Prancis.
Dalam menjalankan operasinya, VOC harus mengeluarkan biaya tetap tinggi karena banyaknya garnisun yang harus diawaki. Armada perang yang kuat diperlukan untuk mempertahankan dan memperluas wilayah perdagangan VOC. Akibatnya perdagangan antar-Asia, yang pada awalnya sangat menguntungkan bagi VOC, menghasilkan lebih sedikit keuntungan sejak akhir abad ke-17.
Femme Gaastra, penulisThe History of the VOC, menghitung bahwa departemen Asia VOC mulai mengalami kerugian dari periode 1689-1700. Pada 1698, VOC memiliki utang sebesar 3,2 juta gulden.
Ketika sebuah komite terpisah ditunjuk pada akhir abad ke-17 untuk memutuskan kredit Kompeni, tiga dari empat komisaris Wisselbank juga menjadi administrator VOC. Oleh karena itu mereka menetapkan bahwa Wisselbank tidak lagi memerlukan izin terpisah dari dewan kota untuk memberikan uang muka kepada VOC.
Sejarawan JG Dillen dalam bukuVan Rijkdom en Regenten(1970), menyebutkan kekurangan pelaut terampil secara struktural terjadi sekitar antara 1730-1740. Pada bulan Oktober 1741, utang VOC menumpuk menjadi sebesar 7,9 juta gulden.
Sementara orang Inggris, Flemish, Prancis, Denmark, dan Jerman, membeli teh sendiri dari Kanton. Saat itu VOC menggunakan sistem baru. Para pedagang Tiongkok pertama-tama mengangkut teh ke Batavia, sebelum dikirim ke Eropa. Teh ini lebih mahal dan kualitasnya lebih rendah daripada pesaingnya di Eropa.
Pada 1749, Isaac de Pinto mengusulkan pengangkatanstadtholderWilliam IV sebagai Gubernur Tertinggi Kompeni. Pangeran juga diberi hak untuk menunjuk direktur lainnya. Latar belakangnya dapat ditemukan pada upaya memperkuat posisistadtholdervis-à-viswalikota atau bupati yang pro-Belanda dan mengakhiri prosedur yang rumit.
Karena Jepang melarang ekspor perak dan emas pada 1752, perdagangan melalui Dejima sebagian besar mengering. Akibatnya pada 1755, VOC bahkan telah mengubah uang banknya menjadi perak, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut buku sejarawan J deVries dalam bukuMenghubungkan Eropa dan Asia: Analisis, pada Paruh ke-2 abad ke-18, bagian perak akan turun karena koloni diwajibkan untuk membeli lebih banyak produk Eropa. Tembaga kemudian berfungsi sebagai pengganti untuk sementara waktu, tetapi Jepang juga semakin memberlakukan pembatasan ini.
Jadi VOC tidak memiliki pilihan selain menghafalkan lebih banyak logam mulia dari Belanda ke Asia. Setelah 1750, volume lalu lintas pertukaran meningkat dan aliran uang ini menjadi lebih penting untuk membiayai perdagangan VOC.
Gagal Beradaptasi
Sekitar 1750, VOC memiliki armada kapal sebanyak gabungan semua perusahaan lain. Setelah 1750, VOC memiliki sekitar 125 kapal yang beroperasi, sepertiga di antaranya tetap berada di perairan Asia. Pada paruh kedua abad ke-18, perdagangan juga bergeser dari barang mewah yang mahal ke barang massal yang lebih murah.
Membawa barang massal mengorbankan margin keuntungan. Selain Itu juga menyita cukup ruang dalam kapal secara signifikan. Hal ini menciptakan kerugian selama pelayaran yang antara 1770-1775 mencapai sebanyak dua puluh tiga persen dari semua pelayanan. Apalagi VOC mengalami kekurangan pelaut Eropa tersedia di Asia.
Dalam keadaan itu VOC dinilai menjadi organisasi terlalu kaku untuk beradaptasi dengan keadaan. Pada menjelang akhir keberadaannya, VOC dijalankan oleh orang-orang yang memiliki terlalu sedikit pengalaman komersial, mereka bukan pemilik kapal, dan biasanya tidak pernah ke Hindia.
Sejarawan FS Gaustra dalam bukuAliran Uang Pribadi di Dalam Perusahaan VOC 1640-1795, menyebutkan dengan semakin mengandalkan aliran uang pribadi yang melahirkan situasi yang sangat aneh. Perusahaan menjadi semakin bergantung pada pendapatan pribadi para pegawainya.
Selain itu, tidak ada sistem akuntansi yang transparan, sehingga masyarakat di Amsterdam tidak memiliki gambaran yang baik tentang aliran uang. Akun untung dan rugi tidak pernah dibuat dan pembentukan dana cadangan diabaikan, menurut Dillen.
Pada Februari 1765, VOC meminjam sebesar 100.000 gulden dari Wisselbank. Pada 1769 Cornelis van der Oudermeulen menulis dua memoar tentang kemunduran dan kemungkinan pemulihan VOC. Pada bulan September 1773 selama krisis keuangan saham telah kehilangan sepertiganya menjadi 65 persen.
LaporanThe Monthly Dutch Mercurymenyebutkan, dua kamar dagang di Hoorn dan Enkhuizen yang merugi. Hasil operasi turun tajam hingga tahun 1775, setelah itu terjadi sedikit pemulihan. Antara 1703 dan 1782, harga saham dikatakan berfluktuasi antara 340 dan 580 persen dan dividen tahunan sebesar 12 hingga 20 persen yang dibayarkan. hay/I-1
Berita Trending
- 1 Pasangan Andika-Hendi Tak Gelar Kampanye Akbar Jelang Pemungutan Suara Pilgub Jateng
- 2 Cawagub DKI Rano Karno Usul Ada Ekosistem Pengolahan Sampah di Perumahan
- 3 Kampanye Akbar Pramono-Rano Bakal Diramaikan Para Mantan Gubernur DKI
- 4 Transjakarta Beroperasi Hingga 23.00 Saat Timnas Indonesia Lawan Arab
- 5 Spanyol Ingin Tuntaskan Fase Grup UEFA Nations League dengan Kemenangan