Bergas Fadhil Widyadhana, Cakra Wikara Indonesia
Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan pada 9 Mei 2022 memberikan harapan baru bagi pemajuan hak asasi manusia (HAM) dalam hal penanganan kekerasan seksual. Banyak orang berharapan aturan ini dapat memperbaiki dan mendorong penanganan kekerasan seksual dengan mengedepankan perspektif korban–hal yang selama ini masih sulit diutamakan dalam proses penegakkan hukum di Indonesia.
Namun, hasil riset dari tim di Cakra Wikara Indonesia (CWI) yang telah dibukukan dengan judul “Mengakhiri Pembungkaman, Menegakkan Budaya Bicara: Tantangan dan Kebutuhan dalam Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual” menunjukkan bahwa sampai hari ini, masih banyak tantangan yang membuat UU TPKS sulit diterapkan secara menyeluruh dan efektif.
Padahal, UU TPKS telah mengamanatkan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai garda depan di seluruh wilayah Indonesia dalam penanganan kekerasan seksual. Akan tetapi, menurut riset tersebut, pembentukan lembaga UPTD PPA masih belum menyeluruh.
Sementara itu, pemahaman Aparat Penegak Hukum (APH), yang seharusnya ikut berperan kunci dalam penanganan kasus, atas UU TPKS dan pengutamaan kepentingan dan hak korban juga masih rendah.
Menurut riset CWI, beberapa tantangan besar yang membuat penanganan kekerasan seksual di Indonesia masih sulit mengutamakan perspektif korban di antaranya adalah tidak sinkronnya perspektif antarlembaga yang menangani isu kekerasan seksual, pengaruh kuat norma budaya yang memengaruhi perspektif APH, dan masih terbatasnya kapasitas kelembagaan dalam memproses kasus kekerasan seksual.
Meski demikian, secara praktiknya, masih banyak faktor lain yang berkontribusi dalam menghambat sulitnya negara menggunakan perspektif korban.
Perbedaan perspektif antarlembaga
Berdasarkan hasil riset yang kami lakukan, adanya perbedaan perspektif antara berbagai lembaga terkait, termasuk antara UPTD PPA dan APH telah mempersulit kerja sama dan penerapan UU TPKS dalam penanganan kasus kekerasan.
CWI menyelenggarakan sebuah diskusi publik dengan mengundang berbagai tokoh penting dalam penanganan kekerasan seksual, salah satunya Muslimin Hasbullah, Kepala UPTD PPA Kota Makassar. Beliau–kini sudah almarhum–mengungkapkan bahwa terdapat masalah dalam perspektif APH ketika memberikan layanan hukum bagi korban.
Sebagai contoh, ketika penyidik telah memahami dan merujuk UU TPKS dalam penanganan kasus, APH cenderung memilih menggunakan UU lain, seperti KUHP, dengan alasan untuk memberi hukuman yang berat bagi pelaku.
Ini menyebabkan hambatan dalam proses penanganan kasus. Sebab, fokus keduanya berbeda. Ketika UPTD PPA lebih mengedepankan kepentingan dan pendampingan korban melalui UU TPKS, APH masih berfokus pada penghukuman pelaku dan proses pidana. Fokus pada penghukuman pelaku daripada pendampingan korban membuat upaya penyelesaian kasus justru berpotensi mengabaikan kepentingan korban.
Sementara itu, dalam diskusi CWI dengan Noridha Weningsari, tenaga ahli psikolog klinis Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Jakarta, dikatakan bahwa masih terdapat rasa kepemilikan terhadap kasus antara UPTD PPA, tenaga kesehatan serta aparat hukum, yang membuat mereka masing-masing meminta keterangan dari korban. Artinya, korban berkali-kali diminta untuk menceritakan pengalamannya. Ini berpotensi membuat korban semakin trauma.
Kesenjangan perspektif kepentingan korban antara APH dan lembaga layanan menjadi tantangan besar yang telah menghambat penanganan kasus kekerasan seksual dan proses koordinasi untuk penanganan korban.
Padahal, koordinasi antarinstansi sangat penting dalam penanganan kasus kekerasan seksual sehingga perbedaan perspektif dapat memutus deadlock antarlembaga dalam manajemen kasus.
Penanganan kasus kekerasan seksual yang berperspektif korban adalah hal yang penting. Implementasi yang tidak menyeluruh akan mendatangkan kerugian bagi korban.
Walaupun upaya menghukum pelaku seberat-beratnya juga penting, proses pemulihan korban harus menjadi prioritas untuk memastikan korban mendapatkan hak dan kebutuhannya, terutama dalam hal pendampingan.
Pengaruh norma sosial budaya
Tantangan berikutnya yang ditemukan adalah kuatnya pengaruh norma sosial budaya di tengah masyarakat yang memengaruhi cara pandang baik APH maupun UPTD PPA dalam menangani kasus.
Hasil riset CWI di Gianyar, misalnya, menemukan bagaimana APH tidak menghormati hak korban untuk memilih aborsi, dengan melarang terminasi kandungan pada korban kekerasan seksual. Pelarangan ini didasari nilai adat di Bali yang melarang tindakan aborsi, termasuk yang diakibatkan oleh kekerasan seksual. Faktor kultural-normatif ini memengaruhi keputusan yang diambil APH dalam menangani kasus, dan akibatnya merampas hak korban.
Pengaruh nilai budaya juga memengaruhi formasi jabatan UPTD PPA. Mediator yang ditempatkan di struktur UPTD PPA sering kali merupakan pemuka adat setempat. Konsekuensinya, pihak UPTD PPA sering meminta korban untuk mempertahankan kehamilan meskipun korban ingin melakukan aborsi. Dengan demikian, kebutuhan dan hak korban telah diabaikan. Penanganan kasus kekerasan seksual pun terganggu.
Menurut pengalaman Pusat PPA Jakarta, terminasi kandungan pada korban kekerasan seksual menjadi hal yang ditolak dan dipermasalahkan oleh APH dan pihak lain, termasuk tenaga kesehatan. Walaupun peraturan perundang-undangan memperbolehkan terminasi kandungan pada korban kekerasan seksual, hak tersebut masih dipersulit, bahkan dirampas.
APH beralasan, bayi merupakan barang bukti untuk tes DNA dan bahwa aborsi melanggar UU Perlindungan Anak. Sementara itu, tenaga kesehatan menemui hambatan karena belum ada perlindungan hukum bagi mereka untuk melakukan prosedur aborsi pada korban kekerasan seksual.
Bentuk perampasan hak korban seperti ini akan berdampak panjang, bahkan seumur hidup. Pembatasan prosedur terminasi kandungan atas dasar hukum yang tidak pasti merupakan hal yang kejam untuk korban.
Riset kami juga menemukan kasus kekerasan seksual di lingkup rumah tangga masih bermasalah penanganannya, terutama dalam kasus yang korbannya berada dalam status pernikahan siri.
Di Probolinggo, contohnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga dalam pernikahan siri sulit ditangani secara serius oleh APH dan dianggap masuk ke dalam tindak pidana ringan. APH beralasan bahwa kasus KDRT yang dilaporkan sering kali dicabut setelah korban rujuk kembali dengan pelaku. Ketidakseriusan penanganan kasus menunjukkan adanya bias di pihak APH yang dapat merugikan korban.
Terbatasnya fasilitas dan kapasitas
Tantangan lainnya adalah terbatasnya sarana, prasarana, pendanaan, dan kapasitas sumber daya manusia UPTD PPA dalam melakukan penanganan kasus kekerasan seksual.
Riset kami menemukan bahwa standar layanan seperti SOP Panduan masih belum merata tersebar di seluruh UPTD PPA di Indonesia. Akibatnya tidak semua UPTD PPA memiliki tenaga ahli dan mitra kerja dengan jumlah yang memadai. Ini mengakibatkan kesejahteraan petugas layanan tidak setara.
UPTD PPA memerlukan dukungan kebijakan dan komitmen anggaran dari pemerintah dan kepala daerah. Di Jakarta, telah terdapat peraturan daerah tentang pencegahan dan penanganan kekerasan pada perempuan dan anak. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah yang terbukti dengan kesediaan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia pada Pusat PPA.
Akan tetapi, tidak semua daerah menunjukkan komitmen ini. Berbagai wilayah lain, terutama di luar Pulau Jawa, mengalami kesulitan karena tidak memiliki kapasitas seperti yang ada Jakarta.
UPTD PPA bisa saja melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk mendapatkan bantuan dalam berbagai bentuk. UPTD PPA Kota Makassar, misalnya, melakukan peningkatan kapasitas dalam bentuk kerja sama dengan berbagai lembaga eksternal seperti universitas. Contoh bentuk kerja samanya adalah pelatihan bagi para petugas UPTD PPA. Bisa juga dalam bentuk keterlibatan aktif dengan jaringan masyarakat sipil yang fokus dalam upaya pencegahan kekerasan seksual.
Penguatan penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan penghapusan bias dalam norma sosial budaya masyarakat, kerja sama antar berbagai lembaga dan dengan jaringan masyarakat, serta komitmen pemerintah.
Uraian riset kami ini menunjukkan bahwa upaya mewujudkan penanganan kasus kekerasan seksual yang mengedepankan kepentingan korban tidak dapat dilakukan secara instan. Oleh sebab itu, kita perlu terus mendukung upaya perubahan serta menyuarakan keutamaan perlindungan dan pemenuhan hak korban kekerasan seksual.
Pemulihan korban seharusnya menjadi prioritas, sebagaimana amanat UU TPKS, dan tidak dianggap akan mengurangi hukuman pelaku. Penanganan kekerasan seksual dengan perspektif kepentingan korban harus ditegakkan dan tantangan yang sudah jelas terlihat harus segera diatasi.
Bergas Fadhil Widyadhana, Researcher and Database Coordinator, Cakra Wikara Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.