Tren Kohabitasi Melanda Indonesia, Apa yang Terjadi?
Kohabitasi adalah kondisi ketika pasangan hidup atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah.
Dampak kohabitasi
Perempuan dan anak menjadi pihak yang paling terdampak secara negatif oleh kohabitasi. Dalam konteks ekonomi, karena tidak ada peraturan yang mengatur kohabitasi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu selayaknya dalam hukum terkait perceraian. Ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk pemberian nafkah (alimentasi). Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya.
Dalam konteks kesehatan, dampak negatif kohabitasi dapat dirasakan melalui penurunan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Kurangnya komitmen dan kepercayaan antara pasangan, serta ketidakpastian mengenai masa depan, dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi pada pasangan kohabitasi.
Berdasarkan data PK21, 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62% mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26% lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, tekanan dari stigma sosial dan harapan yang tidak realistis dari keluarga atau masyarakat, seperti harus mapan finansial dalam waktu singkat agar dapat segera menikah, dapat memperburuk kondisi mental pasangan kohabitasi.
Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga sering mengalami dampak negatif, termasuk gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional. Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status "anak haram", bahkan dari anggota keluarga sendiri. Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : -
Komentar
()Muat lainnya