Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 08 Apr 2022, 00:04 WIB

Tren Kenaikan Harga Komoditas Berlanjut

Foto: Sumber: BPS - KORAN JAKARTA/ONES/ANDES

» Jika inflasi pangan berlangsung lama, akan berdampak ke kenaikan garis kemiskinan.

» Kalau terus andalkan impor, negara sulit menguasai naikturunnya harga barang.

JAKARTA - Ancaman kenaikan harga pangan dan energi global seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini perlu diwaspadai. Sebab, di dalam negeri pun tren kenaikan harga beberapa komoditas diperkirakan masih berlanjut.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono, dalam sebuah diskusi secara daring di Jakarta, Kamis (7/4), mengatakan tren kenaikan komoditas minyak goreng, cabai merah, daging, dan telur ayam ras segar, masih berlanjut pada April.

"Ini tinjauan menggunakan dengan big data, sampai dengan kondisi 5 April kemarin, ada kecenderungan kenaikan untuk tiga komoditas ini," kata Margo.

BPS mencatat harga minyak goreng pada awal April kembali melejit, meskipun rata-rata harga minyak goreng mengalami penurunan pada Maret 2022. Kenaikan itu bahkan lebih tinggi dari kondisi rata-rata pada Januari 2022.

Kemudian untuk harga cabai merah, sejak Maret, rata-rata harga cabai telah naik di pasaran dan masih bertahan hingga awal April. Hingga saat ini belum menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan harga, sedangkan harga daging dan telur ayam ras cenderung stabil dan tidak terlalu berubah signifikan.

Margo mengatakan minyak goreng menjadi penyumbang utama inflasi selama tiga bulan terakhir karena harga yang bergejolak akibat kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO). Secara rinci, inflasi minyak goreng pada Januari adalah 0,31 persen (yoy), Februari 0,20 persen (yoy), dan Maret 0,24 persen (yoy).

Dia juga memperkirakan masih ada potensi kenaikan laju inflasi pada April 2022 sebagai efek dari kenaikan komponen administered prices atau harga barang dan jasa yang diatur pemerintah seperti penyesuaian harga harga elpiji nonsubsidi, penyesuaian BBM jenis pertamax, serta penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai dari 10 persen menjadi 11 persen.

"Ini tentu saja mempunyai potensi besar kepada kenaikan inflasi di April. Jadi, ada demand yang polanya meningkat di Puasa dan Lebaran serta ada kebijakan pemerintah yang berpotensi untuk terjadinya inflasi," jelasnya.

Meningkatnya inflasi berdampak terhadap penurunan daya beli dan menekan konsumsi masyarakat, sehingga bisa menahan pertumbuhan ekonomi nasional. Kenaikan beban pengeluaran masyarakat menengah ke bawah juga bertambah akibat kenaikan harga bahan pangan.

"Pola konsumsi masyarakat sebagian besar porsi belanjanya itu ke makanan. Jadi, kalau inflasi pangan tidak bisa dikendalikan, bisa dipastikan golongan bawah akan tertekan kesejahteraannya," kata Margo.

Jika inflasi pangan berlangsung lama, akan berdampak ke kenaikan garis kemiskinan. Hal itu karena garis kemiskinan ditentukan oleh 74,05 persen makanan dan sisanya 25,95 persen nonmakanan. Jika inflasi pangan tinggi, otomatis jumlah penduduk miskin bertambah.

Lebih Kompleks

Pengamat Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Ma'ruf, mengatakan inflasi pangan saat ini lebih kompleks karena berasal dari dua sumber yang terjadi bersamaan, yakni dari biaya input dan demand yang naik menyusul pelonggaran setelah pandemi.

"Negara seharusnya masuk dalam masalah fundamental, khususnya struktur ekonomi yang menjamin stabilitas. Ketika bahan strategis seperti CPO negara tidak bisa menguasai, ya leher rakyat ada pada para cukong, kartel," papar Maruf.

Begitu pun dengan bahan-bahan pangan yang lain. Kunci dari penanganan inflasi pangan secara fundamental adalah menempatkan produsen pangan dalam negeri ke dalam struktur ekonomi utama nasional. Kalau terus mengandalkan impor, sulit bagi negara untuk bisa menguasai naik-turunnya harga barang dengan catatan pelakunya bukanlah para oligarki atau segelintir pengusaha saja. Pangan mesti menjadi masalah kedaulatan nasional bukan hanya ketersediaan.

Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan pemerintah terlambat mengantisipasi gejolak kenaikan harga sejumlah komoditas pangan. "Komoditas yang siklusnya sudah terbaca akan naik jelang Ramadan, semestinya bisa diantisipasi dini," kata Nailul.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.