Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 20 Jan 2025, 01:30 WIB

Petani Sudah Saatnya Naik Kelas

Masyhuri Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) - Kelompok tani mesti diberi peran strategis agar dapat memberikan manfaat langsung bagi petani, baik dari segi distribusi input pertanian maupun pengelolaan hasil panen.

Foto: antara

JAKARTA - Target Pemerintah untuk segera mencapai swasembada pangan diharapkan tidak hanya dengan memacu produksi, tetapi juga berbanding lurus dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani yang rata-rata masih hidup dalam garis kemiskinan. Target swasembada harus menjadi momentumbagi petani untuk naik kelas, terutama dari sisi peningkatan pendapatan mereka. 

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi pekan lalu mengatakan petani harus dinaikkan kelasnya agar dapat menghasilkan panen yang berkualitas, guna mendukung ketahanan dan mewujudkan swasembada pangan.

Langkah upscaling itu perlu dilakukan agar kalangan petani tidak hanya mengandalkan gabah kering panen (GKP), sehingga bisa tercipta diferensiasi produksi.

Apalagi target pengadaan Bulog di 2025 ini untuk gabah kering giling (GKG) lebih besar daripada GKP.

“Jadi, para gapoktan (gabungan kelompok petani) itu diberikan fasilitas dryer (pengering), sehingga bisa men-support Bulog dengan harga 8.000 hingga 8.200 untuk gabah kering giling (GKG),” kata Arief.

Menanggapi upaya itu, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Masyhuri, mengatakan bahwa proses produksi padi hingga menjadi beras memiliki tahapan yang saling berkesinambungan, mulai dari padi, gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), hingga beras. Dengan Bulog fokus pada pembelian GKG, maka hasil yang diperoleh petani lebih baik.

“Seharusnya menjual GKG hasilnya lebih baik dibanding GKP, namun ini memerlukan upaya untuk meningkatkan infrastruktur seperti dryer untuk membantu kelompok tani dalam proses penjemuran,” kata Masyhuri.

Salah satu tantangan terbesar dalam upaya tersebut adalah mengorganisasi kelompok tani agar lebih efektif. Petani kecil yang memiliki lahan terbatas sering kali menghadapi dilema antara menjual hasil panen untuk pendapatan atau menyimpannya untuk konsumsi keluarga.

“Petani kecil biasanya memiliki kebutuhan konsumsi sendiri. Sebagian hasil panen mereka harus digunakan untuk makan, sehingga tidak semua dapat dijual. Untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, diperlukan kebijakan yang mendorong penguasaan lahan yang lebih besar. Sejak era 1960-an, sudah ada regulasi yang mengamanatkan penguasaan lahan minimal dua hektare untuk petani agar mencapai taraf hidup yang layak,” jelasnya.

Selain penguasaan lahan, Masyhuri juga menekankan pentingnya efektivitas kelompok tani dalam mendorong peningkatan skala produksi dan memanfaatkan peluang ekonomi pertanian. Kelompok tani tidak hanya berperan sebagai wadah organisasi petani, tetapi juga harus diberdayakan untuk menjadi penyalur input-input pertanian seperti pupuk dan bibit.

“Kelompok tani mesti diberi peran strategis agar dapat memberikan manfaat langsung bagi petani, baik dari segi distribusi input pertanian maupun pengelolaan hasil panen. Ini adalah kunci untuk mendukung upscaling produk petani,” imbuhnya.

Gagasan Kepala Bapanas untuk meningkatkan kelas petani dinilai sejalan dengan kebutuhan mendasar dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun, Masyhuri mengingatkan bahwa implementasi kebijakan tersebut memerlukan pendekatan yang menyeluruh, mulai dari peningkatan infrastruktur hingga pemberdayaan petani kecil melalui kelompok tani yang efektif.

Mekanisme yang Adil

Secara terpisah, peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda mengatakan untuk mengolah GKP ke GKG, petani membutuhkan dryer dan itu rasanya sulit bagi petani gurem. “Kebanyakan yang mempunyai dryer merupakan pengepul yang punya skala usaha cukup besar. Ini harus diperhatikan oleh pemerintah. Sekalipun diberikan kepada Gapoktan, saya rasa harus ada mekanisme yang adil. Saya masih merasa bantuan pemerintah kurang efektif melalui Gapoktan karena ketimpangan relasi kuasa antara anggota dan ketua. Ini yang menjadi problem,” kata Huda.

Sementara itu, peneliti Mubyarto Institute Awan Santosa mengatakan realisasi swasembada pangan perlu didukung pertanian multikultur dan diversifikasi pangan lokal.

Selama ini pemerintah memang terus mengatakan untuk mendorong diversifikasi pangan, namun implementasi di lapangan masih lemah.

“Perkataan dan perbuatan itu harus sejalan agar diversifikasi pangan itu masif di daerah. Selama ini belum cukup serius,” kata Awan.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.