Diyan Nur Rakhmah, Indonesian Education Standard, Curriculum, and Assessment Agency (BSKAP Kemdikbudristek)
Sejak 2018, kasus kekerasan pada guru meningkat dan sering kali berdampak fatal seperti menjalani proses hukum, cedera fisik, bahkan meninggal dunia.
Di negara lain, kekerasan pada guru juga tidak sedikit disaksikan langsung oleh para siswa yang tengah belajar. Ini menyebabkan guru depresi sehingga melakukan bunuh diri.
Dalam beberapa kasus, orang tua menjadi pelaku kekerasan kepada guru yang reaktif terhadap tindakan disiplin yang dilakukan kepada anak-anak mereka.
Kasus kekerasan pada guru kurang mendapat perhatian dibandingkan kasus kekerasan pada siswa. Ini sering membuat guru berada pada posisi dilematis.
Di satu sisi, guru perlu menegakkan disiplin pada siswa. Namun, di sisi lain, respons yang diterima tidak selalu positif. Fokus perhatian pada upaya pencegahan kekerasan oleh siswa di sekolah, sering kali justru menjadi serangan balik ketika sekolah tidak memberikan dukungan memadai.
Padahal, keberadaan guru yang sejahtera secara fisik maupun mental penting sebagai kunci utama keberhasilan pembelajaran siswa. Studi tahun 2020 menemukan, upaya peningkatan kompetensi akan gagal meningkatkan kinerja guru jika kesejahteraan emosional dan keamanannya luput diperhatikan. Artinya, guru pun perlu merasa aman dan nyaman saat mengajar.
Guru juga perlu perlindungan
Sebenarnya, regulasi tentang perlindungan hak dan keselamatan kerja guru dari kekerasan telah terakomodasi melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Kedua regulasi ini hadir untuk mengatur secara spesifik agar sekolah memiliki gambaran yang lebih operasional tentang bagaimana upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah dapat dilakukan.
Masalahnya, tidak semua sistem di lapangan bergerak dan berkomitmen untuk menjalankan aturan tersebut. Selain itu, tidak semua guru memahami hak-hak mereka, termasuk bahwa mereka berhak mendapatkan pendampingan memadai ketika terkena kasus hukum.
Kenyamanan dan keamanan guru di tempat mereka bekerja berhubungan erat dengan kinerja dan keberlanjutan guru untuk bertahan dalam profesinya. Guru yang merasa tidak nyaman bekerja, akan menurunkan perilaku profesionalisme karena merasa tidak dihargai, frustrasi dengan kinerjanya, berpotensi memantik sikap apatis terhadap siswa, dan bahkan memutuskan beralih profesi.
Pada efek yang lebih personal, kekerasan berisiko membuat guru mengalami kelelahan emosional serta respons negatif terhadap pekerjaannya. Sindrom psikologis tersebut akan mendorong terjadinya gangguan pascatrauma seperti kecemasan, depresi, gejala fisiologis, dan pada jangka panjang memengaruhi kinerja dan interaksi guru dan lingkungan, termasuk kinerja dalam pembelajaran. Tak heran, dalam beberapa kasus kekerasan, guru memilih apatis terhadap pelanggaran disiplin siswa karena khawatir dikriminalisasi.
Mengapa guru mengalami kekerasan
Salah satu akar masalah terjadinya kekerasan pada guru berkaitan dengan keterbukaan informasi. Ini mendorong anak mendeteksi hak-hak individunya secara mandiri dan memengaruhi cara pandangnya terhadap orang lain dan lingkungan.
Media, contohnya, banyak mengkampanyekan pentingnya memperjuangkan hak dan kesetaraan, termasuk metode pengajaran yang tidak sekadar mengarahkan anak menjadi lebih kreatif, tetapi juga otonom. Tanpa pendampingan memadai, kondisi ini justru akan membuat anak reaktif dalam merespons sikap dan teguran yang diterima.
Masyarakat juga kerap menilai guru berdasarkan capaian belajar siswa ataupun sikapnya di luar sekolah. Film Budi Pekerti, misalnya, dapat menjadi gambaran bagaimana keterbukaan informasi dan menurunnya penghormatan atas hak privasi menyebabkan kelalaian guru, mudah diviralkan dan menjadi senjata untuk merundung guru.
Pola pengasuhan juga mengalami pergeseran yang relatif permisif dengan argumen bahwa anak tidak boleh diperlakukan dengan keras (seperti dipukul atau ditegur keras) karena akan memunculkan trauma dan memengaruhi perkembangan anak.
Selain itu, kesinambungan pembelajaran dari sekolah ke rumah juga memengaruhi relasi orang tua, siswa, dan guru. Kurangnya kegiatan bersama antar tiga aktor tersebut dalam konteks pembelajaran, menyebabkan bonding antara sekolah dan orang tua, tidak selalu harmonis. Beberapa kegiatan sekolah yang melibatkan orang tua, seringkali terbatas pada produk/hasil kerja siswa, bukan pada pelibatan di ranah proses pembelajaran.
Bagaimana menciptakan rasa aman bagi guru
Terdapat beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengurangi risiko terjadinya kekerasan kepada guru.
Pertama, pendampingan konseling bagi guru. Praktik konseling ini dapat menjadi ruang konsultasi bagi guru yang menghadapi permasalahan kinerja serta hubungan sosial dengan siswa, orang tua, dan lingkungan kerjanya.
Beberapa kasus kekerasan pada guru, berangkat dari kesalahpahaman terkait penegakan disiplin sekolah. Karena itu, guru juga perlu dibekali dengan keterampilan sosial untuk menghadapi karakteristik siswa yang beragam, sehingga guru dapat menemukan metode yang tepat untuk menangani berbagai jenis pelanggaran siswa.
Kedua, membangun ekosistem sekolah yang kondusif melalui kepemimpinan kepala sekolah. Melalui kepemimpinan transformasional, kepala sekolah berperan penting membentuk ekosistem sekolah yang kondusif dan aman untuk guru. Studi tahun 2020 menemukan, lingkungan kerja yang layak akan mendorong guru untuk terlibat aktif memastikan siswa berkembang dan bersikap positif terhadap lingkungannya.
Ketiga, penguatan keterlibatan orang tua dalam pendidikan melalui program sekolah. Umumnya sekolah masih terbatas dalam mendesain program pelibatan untuk membangun relasi emosional dengan orang tua. Program ini selayaknya tidak sekadar berbasis produk/hasil kerja seperti pameran kerja atau pembagian rapor.
Potensi kekerasan dan ketidakharmonisan antaraktor di sekolah, sebenarnya dapat terdeteksi. Selain melalui gambaran interaksi, ini juga tampak dalam indikator iklim keamanaan sekolah yang tergambar pada data Survei Lingkungan Belajar di platform Rapor Pendidikan.
Data ini dapat digunakan sekolah sebagai dasar pertimbangan untuk merancang berbagai program yang responsif mengoptimalkan pelibatan berbagai pihak dalam pendidikan, termasuk menangani potensi terjadinya kekerasan di sekolah. Harapannya, sekolah dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman, tidak hanya bagi siswa, tapi juga guru.
Diyan Nur Rakhmah, Analis Kebijakan, Indonesian Education Standard, Curriculum, and Assessment Agency (BSKAP Kemdikbudristek)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.