Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 03 Jan 2020, 01:00 WIB

Terapkan Fesyen Berkelanjutan untuk Kurangi Limbah

Foto: istimewa

Bicara sampah tidak akan pernah ada habisnya. Setelah sebelumnya sempat gencar kampanye mengurangi sampah plastik karena salah satu limbah besar di dunia. Dan ternyata, tanpa disadari limbah produk fesyen pun menjadi produsen sampah terbesar kedua di dunia.

Penggunaan pakaian menjadi bagian yang lekat dalam kehidupan orang sehari-hari sehingga produksi fesyen pun dilakukan secara terus menerus. Karenanya, sebagai konsumen mau tidak mau pun harus mulai bijak menggunakan produk fesyen agar dapat membantu menurunkan jumlah produksi fesyen.

"Dengan mengurangi konsumsi produk fesyen bisa mengurangi tempat pembuangan akhir, penggunaan air yang digunakan untuk produksi produk fesyen, menurunkan jejak karbon dan polusi senyawa yang dihasilkan," kata Intan Anggita Pertiwie, Co-Founder Komunitas Setali, yayasan yang berupaya untuk mengolah limbah fesyen.

Intan menuturkan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk melakukan fesyen berkelanjutan. Mulai dari Reduce, Reuse, Repair dan Recycle. Reduce dilakukan dengan cara mengurangi keinginan untuk membeli baju baru dengan cara merawat pakaian yang dimiliki secara maksimal agar awet dan bisa dikenakan dalam jangka lama atau secara turun temurun.

"Salah satu langkah untuk mengurangi pakaian terbuang adalah dengan Reduce. Caranya dengan memaksimalkan dan merawat pakaian yang kita miliki dalam waktu lama," ujarnya.

Intan melanjutkan bahwa dorongan agar masyarakat lebih peduli akan perawatan pakaian mereka merupakan suatu langkah yang besar di masyarakat karena banyak yang kurang peduli dan tidak merawat pakaian dengan baik sehingga dibuang begitu saja.

"Mereka tidak memahami bahwa baju bekas yang dibuang adalah salah satu limbah terbesar di dunia," timpalnya. Padahal, pakaian lama apabila dirawat dengan tepat masih dapat dikenakan. Usia pemakaian baju yang panjang itu menjadi sejalan dengan konsep fesyen berkelanjutan dan tidak hanya bisa dipraktekkan kalangan tertentu, melainkan juga diharapkan menjamah seluruh lapisan masyarakat.

Reuse atau menggunakan kembali adalah kelanjutan dari Reduce. Di mana orang memakai kembali baju yang diwariskan secara turun temurun, semisalnya dari orang tua ke anak atau saudara ke saudara yang lebih muda dan lainnya. Praktik ini bisa sangat membantu untuk mengurangi limbah fesyen selain dari win-win solution antara pemberi dan penerima baju.

"Di satu sisi kita senang menerimanya, di sisi lain dia juga senang karena mungkin dia sendiri pun bingung mau diapakan barang yang ada. Jadi gak usah malu," tutur Intan.

Sementara Repair adalah memperbaiki baju yang rusak agar bisa dipakai kembali. Semisal kancingnya lepas, ada noda pada baju yang tidak bisa hilang, lubang pada baju dan lainnya.

Sedangkan Recycle lebih pada ke aktivitas mendaur ulang baju. Intan mengatakan ada dua metode daur ulang, yaitu upcycling dan downcycling. Upcycling adalah meng-upgrade barang yang sudah tidak digunakan sehingga bisa menambah nilai barang tersebut.

Sementara downcycling mengubah barang tersebut menjadi sesuatu yang memiliki nilai menjadi lebih rendah, semisalnya pada baju yang dicacah menjadi benang kembali.

"Untuk saat ini, di Setali ada sekitar 4 ribu pakaian yang masuk setiap bulannya dan 20 persen dari baju-baju tersebut bisa dikelola menjadi garage sale, sementara 80 persen lainnya didaur ulang," kata Intan.

80 persen baju yang didaur ulang ini kemudian diberikan ke Bank Sampah Baju di Bandung untuk dipercantik dan diberikan nilai tambah atau upcycling.

Penurunan Emisi Karbon

Isu permasalahan sampah dapat memberikan dampak bagi siapa saja, tidak terkecuali mempengaruhi iklim. Menjadi salah satu topik diskusi dalam Summit on Girls Getting Equal: Let's Invest n Girls!, sebuah forum dialog untuk mendukung terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia.

Chynthia Maharani, peneliti iklim dari World Resources Institute (WRI) Indonesia menyebutkan bahwa istilah pemanasan global yang sudah dikenal sejak 90an, kini telah berubah menjadi krisis iklim karena Bumi yang sedang ditinggali sedang mengalami hal tersebut. "Kalau era 90an ada istilah pemanasan global, sekarang adalah krisis iklim.

Itu karena kalau dilihat Bumi kita sudah mengalami kenaikan suhu hingga 1,1 derajat Celsius," katanya. Sejak 1945, Bumi telah mengalami kenaikan suhu dan semakin terlihat perubahannya.

Begitupun dengan jumlah penurunan jumlah es yang mencair. Akibatnya kekeringan semakin terjadi yang mengakibatkan banyaknya gagal panen dan membuat sulit investasi dan mencari pekerjaan sehingga generasi muda di masa mendatang terbebani. "Ini adalah suatu krisis karena memerlukan kedaruratan kekuatan Karbonpolitik dan aksi yang ambisius untuk kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius dan kita hanya punya waktu 11 tahun lagi," timpal Chynthia.

Ia melanjutkan, apabila suhu permukaan Bumi naik mencapai 2 derajat celsius, makhluk hidup yang tinggal di Bumi bisa tidak tahan. Dengan kenaikan suhu yang 1,5 derajat saja sudah dapat terlihat permukaan laut yang naik hingga 8 inchi sejak 1880, kemudian bagaimana es yang ada di Kutub mencair dengan cepat dan perubahan cuaca ekstrem yang terjadi akibat krisis iklim ini.

"Terumbu karang pun terimbas dampaknya, dengan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius, kita kehilangan sekitar 70 sampai 90 persen terumbu karang di Bumi.

Sementara dengan 2 derajat celsius, dipastikan 99 persen terumbu karang akan menghilang," tuturnya. Karenanya, setiap tahun diadakan pertemuan tingkat tinggi guna membahas perubahan iklim yang terjadi dan rekomendasi yang dihasilkan sekelompok ahli dari seluruh dunia.

Pada 2015, para ahli dengan pemimpin dunia membuat rekomendasi yang mengundang negara-negara dunia untuk berkontribusi dalam Intended Nationally Determined Contributions (INDC) di mana mereka berkontribusi untuk mengurangi emisi karbon pada 2020 dan 2030 sendiri dan dukungan internasional

"Kontribusi ini dibuat bersama dan hampir semua negara memberikan kontribusi mereka tentang penurunan global," timpal Chynthia. Indonesia sendiri memiliki target untuk mengurangi emisi karbon hingga 26 persen sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional. Dan untuk saat ini, target tersebut sudah mencapai 23 persen. gma/R-1

Redaktur:

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.