Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 06 Feb 2025, 06:10 WIB

Ternyata Telinga Manusia Masih Berusaha Berputar untuk Mencari Suara

Foto: Istimewa

Puluhan juta tahun yang lalu, nenek moyang manusia dalam kategori primata merespons suara dengan cara yang sama seperti yang dilakukan banyak mamalia lain. Telinga mereka dengan cekatan berputar diarahkan ke sumber suara.

Meskipun beberapa orang mungkin menggoyangkan telinga mereka sedikit, kemampuan berputar telinga manusia modern telah berkurang dan bahkan hampir hilang. Penurunan kemampuan ini bukan karena kurangnya usaha namun tergantikan oleh kemampuan menoleh.

Menurut para peneliti dari Universitas Saarland di Jerman, produsen alat bantu dengar WS Audiology, dan Universitas Missouri menunjukkan, otot-otot di sekitar telinga yang dulunya bertugas menggerakkan telinga luar atau daun telinga masih berusaha sekuat tenaga untuk berkontraksi ketika berusaha mendengar sesuatu yang menarik.

1738769238_ba78cea4818edb511aea.jpg

Telinga Wanita Pirang. Foto: Istimewa

“Ada tiga otot besar yang menghubungkan daun telinga ke tengkorak dan kulit kepala dan penting untuk menggoyangkan telinga,” kata ahli saraf Universitas Saarland Andreas Schröer, dikutip dari Science Alert dari jurnal penelitian Frontier in Neuroscience.

“Otot-otot ini, khususnya otot aurikular superior, menunjukkan peningkatan aktivitas selama tugas mendengarkan yang membutuhkan usaha. Ini menunjukkan bahwa otot-otot ini diaktifkan bukan hanya sebagai refleks tetapi berpotensi sebagai bagian dari mekanisme upaya perhatian, terutama dalam lingkungan pendengaran yang menantang,” tambahnya.

Schröer memimpin tim ilmuwan dalam upaya untuk menentukan seberapa vestigial otot-otot telinga manusia sebenarnya. Setelah sebuah penelitian menemukan sinyal elektromiografi (electromyographic /EMG) mereka secara akurat memprediksi sumber suara yang difokuskan seseorang.

Organ vestigial merupakan organ yang masih dapat ditemukan dalam tubuh dimana fungsinya tidak terlibat banyak dalam kehidupan. Sekalipun disebutkan sebagai organ sisa yang juga menjadi bukti evolusi namun nyatanya organ vestigial masih memiliki peranan.

Dalam penelitian mereka merekrut 20 penutur asli bahasa Jerman yang memiliki pendengaran normal dan tidak diketahui memiliki defisit neurologis atau kognitif. Para peserta, semuanya dewasa muda, memiliki elektroda yang dipasang di sisi kepala mereka untuk merekam sinyal EMG mereka saat mendengarkan potongan-potongan buku audio sambil terganggu oleh podcast yang diputar secara bersamaan.

Sudut penyampaian suara dan kompleksitas gangguan juga disesuaikan untuk menciptakan skenario dengan tingkat kesulitan yang bervariasi. Elektroda EMG di kepala seseorang Peserta diminta untuk menilai seberapa baik mereka mendengarkan dalam kondisi yang berbeda, menjawab pertanyaan tentang topik buku audio untuk memverifikasi bahwa mereka benar-benar memperhatikan.

Sementara itu, sinyal listrik dari otot aurikular superior dan posterior telinga kiri dan kanan, serta otot masseter rahang, direkam dan kemudian diproses untuk analisis statistik. Seperti anjing yang memutar telinganya saat mendengar suara pintu lemari es terbuka, sinyal menunjukkan otot auricular posterior manusia berusaha menarik telinganya untuk menangkap sinyal suara penting di belakangnya saat lingkungan penuh dengan suara gaduh dan bising.

Apakah sinyal EMG berubah menjadi kontraksi yang signifikan mungkin sangat bergantung pada masing-masing individu. Satu penelitian menunjukkan hanya 10 hingga 20 persen orang yang diteliti dapat menggunakan otot-otot yang melekat pada auricle mereka untuk menggoyangkan telinga mereka sebentar.

Dipercayai bahwa nenek moyang manusia hampir kehilangan kemampuan untuk memanipulasi auricle kecil mereka yang lucu dan berbulu halus sekitar 25 juta tahun yang lalu ketika kera kecil dan monyet Dunia Lama berpisah. Hal ini mengunci telinga di tempatnya sehingga tidak mampu berputar lagi dengan menggantinya dengan cara menolehkan untuk mendengarkan dengan lebih saksama.

Temuan tersebut menunjukkan bahwa meskipun otot-otot yang bertanggung jawab untuk menarik telinga manusia mungkin telah melemah, jaringan saraf masih ada, secara refleks memicu dengan sia-sia saat mencoba menarik suara yang bermakna dari hiruk-pikuk kehidupan modern.

1738769238_ac254925a123eec004f0.jpg

Lima elektroda EMG dipasang di kepala relawan untuk merekam sinyal. Foto: Andreas Schröer/Frontiers of Neuroscience

“Gerakan telinga yang dapat dihasilkan oleh sinyal yang telah kita rekam sangat kecil sehingga mungkin tidak ada manfaat yang terlihat,” kata Schröer.

“Namun, daun telinga itu sendiri berkontribusi pada kemampuan kita untuk melokalisasi suara. Jadi, sistem aurikulomotor kita mungkin mencoba yang terbaik setelah menjadi vestigial selama 25 juta tahun, tetapi tidak mencapai banyak hal,” ujar dia.

Schröer berharap untuk menguji asumsi ini di masa mendatang. Penelitian yang dihasilkan dapat berpotensi memperluas eksperimen untuk mengevaluasi pengaruh kedutan vestigial ini pada orang-orang dengan gangguan pendengaran.

“Mengangkat telinga tegak lurus, pada hampir setiap spesies, merupakan petunjuk bahwa hewan tersebut sedang berusaha keras. Mereka memperhatikan dengan saksama, mereka berkonsentrasi,” kata Steven Hackley, seorang peneliti di University of Missouri yang terlibat dalam penelitian tersebut.

Manusia tidak dapat menggerakkan telinganya dengan cara yang sama seperti anjing, kucing, dan kuda. Namun, manusia memiliki otot-otot tertentu di sekitar telinga yang tidak pernah digunakan, kecuali oleh orang-orang yang dapat dengan sengaja menggoyangkan telinganya sebagai trik pesta.

“Dalam percobaan ini, kami merekam dari dua otot telinga yang berbeda,” kata Hackley. “Satu yang mengangkat telinga ke atas, dan satu yang menarik telinga ke belakang,” ujar dia dikutip dari OPB.org.

Profesor ilmu bicara, bahasa, dan pendengaran Alexander Francis berada di Universitas Purdue dan tidak menjadi bagian dari tim peneliti. Ia mengatakan bahwa akan sangat berguna untuk memiliki cara baru untuk mengukur secara objektif seberapa besar usaha yang harus dilakukan pendengar.

Bahkan dengan alat bantu dengar, kata Francis, usaha untuk mencoba mendengarkan terkadang bisa sangat melelahkan dan membuat frustrasi sehingga orang menyerah begitu saja. “Kami memiliki alat bantu dengar yang sangat, sangat bagus sekarang, alat tersebut dapat memberikan amplifikasi yang sangat, sangat bagus, tetapi orang-orang terkadang masih tidak senang memakainya,” kata Francis.

Jika alat bantu dengar dapat memantau aktivitas otot-otot sisa di sekitar telinga, alat tersebut berpotensi memperoleh informasi tentang bagaimana seseorang mengalami tindakan mendengarkan dan kemudian melakukan penyesuaian yang sesuai.

Profesor audiologi Matthew Winn di University of Minnesota, mengatakan bahwa saat ini, cara utama yang harus dilakukan para peneliti untuk mengukur upaya mendengarkan adalah dengan memantau pelebaran pupil, karena pupil akan melebar setiap kali seseorang memperhatikan sesuatu dengan saksama. Namun, teknik laboratorium ini akan sulit dilakukan di dunia nyata.

Ia merasa data dalam penelitian baru ini meyakinkan, tetapi bertanya-tanya apakah register aktivitas listrik ini benar-benar mengukur upaya mendengarkan, bukan sekadar respons fisiologis terhadap stimulus seperti suara yang semakin keras.  hay

Redaktur: Haryo Brono

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.